Rabu, 30 Maret 2011

Manisnya Iman

Seseorang akan merasakan manisnya iman bermula manakala di dalam hatinya terdapat rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya, manisnya akan semakin dirasakan bila seseorang berusaha untuk senantiasa menyempurnakan cintanya kepada Allah, memperbanyak cabang-cabangnya (amalan yang dicintai Allah swt.) dan menangkis hal-hal yang bertentangan dengan kecintaan Allah swt.
Apa buktinya bila seseorang telah merasakan manisnya Iman?
Buktinya, ia akan selalu mengutamakan kecintaanya kepada Allah daripada mementingkan kesenangan dan kemegahan dunia, seperti bersenang-senang dengan keluarga, lebih senang tinggal di rumah ketimbang merespon seruan dakwah dan asyik dengan bisnisnya tanpa ada kontribusi sedikitpun terhadap kegiatan jihad di jalan Allah swt. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah : 24
“Katakanlah: “Jika bapa-bapak, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Memprioritaskan kecintaan kepada Allah akan melahirkan perasaan ridha
Bila seseorang senantiasa mengutamakan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya, daripada kepentingan dirinya sendiri, maka akan lahirlah sikap ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai din-nya dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Keridhaannya itu dibuktikan dengan selalu menghadiri halaqahnya, terlibat dengan kegiatan dakwah di lingkungannya dan menginfakkan sebagian harta dan waktunya untuk kemaslahatan tegaknya agama Allah swt.
Apa yang dirasakan oleh seseorang bila ia telah ridha terhadap Allah, agama dan Rasulnya?
Pertama, Ia akan merasakan “Istildzadz at-Thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah swt., baik dalam shalatnya, tilawah Qur’annya, pakaian dan pergaulan islaminya, perkumpulannya dengan orang-orang shaleh dan keterlibatannya dalam barisan dakwah
Kedua, Ia juga akan merasakan “Istildzadz al-masyaqat”, lezatnya menghadapi berbagai kesulitan dan kesusahan dalam berdakwah. Kelelahan, keletihan, dan hal-hal yang menyakiti perasaannya akibat celaan orang karena menjalankan syariat Islam, atau bahkan mencederai fisiknya, semua itu semakin membuatnya nikmat dalam berdakwah. Semua inilah yang akan senantiasa melahirkan manisnya Iman.
“Istildzaadz at-thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah ditunjukan oleh wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun wahyu yang memerintahkan mereka untuk berhijab dan menutrup auratnya, mereka langsung meresponnya dengan senang hati dan lapang dada, tanpa merasa berat sedikitpun. Aisyah ra. yang menjadi saksi mata atas hal ini berkata :

رَحِمَ الله ُنِسَاءَ اْلاَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَاتِ لَمَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِنَّ “وَلْيَضْرِبْنَ مِنْ جَلاَ بِيْبِهِنَّ عَلَى جُيُوْ بِهِنَّ” شَقَقْنَ مُرُوْطَهُنَّ فَلْيَخْتَمِرْنَ بِهَا

“Semoga Allah merahmati wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun kepada mereka ayat “hendaknya mereka mengenakan kain panjang (jilbab) sampai ke atas dada mereka,” mereka memotong kain-kain mereka, lalu mereka menjadikan kain-kain itu sebagai penutup kepalanya
Abu Ayub Ayub Al-Anshary, ketika mendengar seruan jihad, Dalam surat At-Taubah : 41

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”
Abu Ayub berseru kepada anak-anaknya, “Jahhizuuny! Jahhizuuny!” siapkan peralatan perangku!. Anak-anaknya membujuk agar bapaknya tidak perlu berangkat untuk berjihad, karena usianya sudah udzur, cukup di wakilkan saja oleh anak-anaknya. Abu Ayyub menolak bujukan anak-anaknya seraya berkata : “ketahuilah wahai anak-anakku, yang dimaksud ayat tersebut adalah خِفَافًالَكُمْ وَثِقَالاً لٍي , ringan bagi kalian berat bagiku, beliaupun tetap berangkat dan menemukan syahidnya dalam perjalanan jihad tersebut. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Sedangkan Lezatnya kesulitan (Istildzadz al-masyaqqah) dalam dakwah dirasakan oleh Rasulullah saw., ketika beliau menghadapi ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap ajaran Islam, sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat Thaif ketika Rasulullah saw. hijrah ke sana, yaitu pada saat Nabi menyampaikan dakwahnya, mengajak mereka untuk menerima ajaran Islam, tetapi tidak ada sedikitpun sambutan baik dari para tokoh mereka, bahkan dengan nada yang sangat melecehkan dan menyakitkan, mereka menanggapi dakwah Nabi seraya berkata,
“Coba kau robek kiswah ka’bah jika engkau memang benar-benar utusan Allah.”
Yang lainnya pun turut berkomentar,
“Apa tidak ada lagi orang yang lebih pantas diutus oleh Allah selain engkau?”
Dengan penuh kesabaran dan ketabahan Rasulullah saw. menerima kenyataan pahit tersebut, beliau tetap berlapang dada dan tidak mempermasalahkan tentang penolakan dan penentangan mereka. Oleh karena itu ketika malaikat penjaga gunung Alaihissalaam menawarkan kepada Nabi, bila beliau setuju ia akan mengangkat dua buah bukit yang ada di Thaif lalu ditimpakan kepada mereka, dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah saw. menanggapinya seraya berkata,

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka kelak orang-orang (generasi) yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.”
Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamroh mengibaratkan manisnya iman dengan sebuah pohon, sebagaimana firman Allah :

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (Ibrahim : 24)
Yang dimaksud kalimat dalam ayat tersebut adalah kalimatul ikhlas لا اله الا الله, batang pohonnya adalah pangkal iman, cabang dan rantingnya adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dedaunannya adalah kepedulian terhadap kebajikan, buahnya adalah amal ketaatan, rasa manisnya adalah ketika memetiknya, dan puncak manisnya adalah ketika matangnya sempurna saat dipetik, disitulah sangat terasa manisnya

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ)). (رواه البخاري ومسلم وهذا لفظ مسلم).

Dari Anas ra, dari Nabi saw. bersabda, “Tiga perkara jika kalian memilikinya, maka akan didapati manisnya iman. (Pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya. (Kedua) agar mencintai seseorang semata-mata karena Allah swt. (Ketiga), tidak senang kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah swt, sebagaimana ketidak-senangannya dilempar ke dalam api neraka.” (HR Bukhar Muslim dengan redaksi Muslim)

عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((ذَاقَ طَعْمَ الإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً)) (رواه مسلم).

Dari Al-Abbas bin Abdil Muttalib, bahwasanya ia mendengar Rasulallah saw. bersabda, “Telah merasakan lezatnya iman seseorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini sangat agung maknanya, termasuk dasar-dasar Islam, berkata para ulama, “Arti dari manisnya iman adalah mersakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah dan Rasul-Nya, lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam hadits tersebut Rasulullah saw. menjelaskan bahwa tiga perkara bila kalian berada di dalamnya maka akan didapati manisnya iman, karena sarat mendapatkan manisnya sesuatu adalah dengan mencintainya, maka barang siapa yang mencintai sesuatu dan bergelora cintanya, maka ketika berhasil mendapatkannya, ia akan merasakan manis, lezat dan kegembiraannya. Karena itu seorang mukmin yang telah mendapatkan manisnya iman yang mangandung unsur kelezatan dan kesenangan akan diiringi dengan kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Allah swt. Dan kesempurnan itu dapat diwujudkan dengan tiga hal.
Pertama : menyempurnakan cinta kepada Allah yaitu dengan menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari yang lainnya, karena cinta kepada Allah tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang lain-Nya
Kedua : menjadikan cinta kepada Allah menjadi pangkal dari cabang cinta kepada yang lain, yaitu mencintai orang lain semata-mata karena dan untuk Allah swt., sehingga dalam mencintai ia tetap mengikuti prosedur dan mekanisme cinta yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah, misalnya tidak berkhalwat, menyegerakan akad nikah dan menghindari perbuatan yang mendekati pada perzinahan. (tidak pacaran) (QS. 24 : 30-31, 33 : 59)
Menolak segala hal yang bertentangan dengan cinta-Nya, yaitu tidak menyukai hal-hal yang bertentangan dengan keimanan melebihi ketidaksukaannya bila dirinya dilemparkan ke dalam api neraka.

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قاَلَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلِايْمَانِ :اَلاْنِفْاَقُ مِنَ اُلاِقْتَارِ ، وَإِنْصَافُ النَّاسِ مِنْ نَفْسِكَ ، وَبذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ (رواه عبد الرزاق) علقه البخاري في (كتاب الايمان)

Amar bin Yasir berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya ia merasakan manisnya keimanan, berinfak dari kekikiran, bersikap adil terhadap manusia dari dirinya, dan mengupayakan keselamatan (salam) bagi alam.” (Diriwayatkan Abdurazzaq, Bukhari mencantumkannya di kitab Al-Iman).
Hadits yang dibawakan oleh Amar bin Yasir ra. tersebut di atas, juga menjelaskan tentang tiga hal yang dapat mendatangkan manisnya iman
Pertama : berinfak secukupnya, tidak berlebihan sehingga menzalimi hak-hak yang lainnya, tapi juga tidak kikir dengan hartanya
Kedua : bersikap objektif, tidak menghalanginya untuk berbuat baik dan adil kepada manusia, walaupun ada kaitannya dengan kepentingan diri sendiri, misalnya walaupun disakiti dan dizalimi oleh seseorang, tetapi tidaka menghalanginya untuk memaafkannya dan tetap berbuat baik kepadanya
Ketiga : Menebarkan kesejahteraan kepada seluruh alam semesta, memperjuangkan sesuatu demi kebaikan manusia dan seluruh makhluk lainnya, seperti dengan melakukan kegiatan amal siasi maupun amal khidam ijtima’i (kegiatan sosial)

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ يَجِدْ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلاِيْمَانِ : تَرْكُ اْلمِرَاءِ فيِ الْحَقِّ ، وَاْلكِذْبُ فِي اْلمُزَاحَةِ ، وَيَعْلَمُ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ. (رواه عبد الرزاق)

Ibnu Mas’ud juga berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya akan merasakan manisnya iman, menghindari perdebatan dalam hal kebenaran, tidak berdusta dalam bercanda, dan menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” (Diriwayatkan Abdurrazzaq).

عن أنس مرفوعا: “لاَ يَجِدُ عَبْدٌ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ حَتىَّ يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ … ” الحديث . أخرجه ابن أبي عاصم ( 247 ) بإسناد حسن عنه. (الألباني – السلسلة الصحيحة)

Dari Anas secara marfu’ mengatakan, “Tidaklah seorang hamba merasakan manisnya keimanan sehingga dia menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” Hadits tersebut dikeluarkan Ibnu Abi Ashim, hadits sahih dengan sanad yang baik, termaktub dalam silisilah hadits sahih karya Imam Albani.

(قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ) * وَالْغَضُّ عَنِ الْمَحَارِمِ يُوْجِبُ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ، وَمَنْ تَرَكَ شَيْئًا لِلّهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ، وَمَنْ أَطْلَقَ لَحَظَاتِهِ دَامَتْ حَسَرَاتُهُ. (فيض القدير 1/677).

“Katakanlah kepada mukmin laki-laki agar menahan pandangan mereka…” (An-Nur: 30). Yaitu menahan dari apa yang diharamkan Allah swt. pasti akan mendatangkan manisnya iman, dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, dan barangsiapa yang membebaskannya walau hanya sekejap maka akan abadi penyesalannya”

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَلاَ تَجِدُ امْرَأَةٌ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا عَلَى قَتَبٍ.” (المعجم الكبير للطبراني)

Dari Muadz bin Jabal berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Seandainya aku memerintahkan seseorang bersujud kepada yang lainnya, maka akan aku perintahkan isteri sujud kepada suaminya, karena hak-hak suami atasnya, dan tidaklah seorang wanita mendapatkan manisnya iman sehingga Ia menunaikan hak suaminya, walaupun suaminya memintanya, sedang Ia sedang berada di atas sekedupnya

قاَلَ اِبْنُ رَجَبْ فِي (فَتْحِ الْبَارِي: 1/27): فَإِذَا وَجَدَ اْلقَلْبُ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ أَحَسَّ بِمَرَارَةِ اْلكُفْرِ وَاْلفُسُوْقِ وَاْلعِصْيَانِ وَلِهَذَا قَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلاَم ُ: {رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ} [يوسف33].

Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul Bari 1/27 : “Maka apabila sebilah hati telah mendapatkan manisnya iman, maka ia akan sensitif merasakan pahitnya kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, karena itulah Nabi Yusuf AS berkata : “Ya Rabb! Penjari lebih aku sukai daripada apa yang mereka serukan kepadaku” (QS. Yusuf : 33)


Disadur dari http://www.dakwatuna.com/

Selasa, 29 Maret 2011

Ketika Rasulullah SAW Memberikan Syafaat Kepada Ummatnya di Hari Kiamat

Ini adalah sekelumit “kisah masa depan”, ketika seluruh manusia berkumpul di hari kiamat. Kisah ini disampaikan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Dalam kisah itu diceritakan bahwa Allah mengumpulkan seluruh manusia dari yang pertama hingga yang terakhir dalam satu daratan. Pada hari itu matahari mendekat kepada mereka, dan manusia ditimpa kesusahan dan penderitaan yang mereka tidak kuasa menahannya.
Lalu di antara mereka ada yang berkata, “Tidakkah kalian lihat apa yang telah menimpa kita, tidakkah kalian mencari orang yang bisa memberikan syafa’at kepada Rabb kalian?”
Yang lainnya lalu menimpali, “Bapak kalian adalah Adam AS.”
Akhirnya mereka mendatangi Adam lalu berkata, “Wahai Adam, Anda bapak manusia, Allah menciptakanmu dengan tangan-Nya, dan meniupkan ruh kepadamu, dan memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadamu, dan menempatkanmu di surga. Tidakkah engkau syafa’ti kami kepada Rabb-mu? Apakah tidak kau saksikan apa yang menimpa kami?”
Maka Adam berkata, “Sesungguhnya Rabbku pada hari ini sedang marah yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan tidak akan marah seperti ini sesudahnya, dan sesungguhnya Dia telah melarangku untuk mendekati pohon (khuldi) tapi aku langgar. Nafsi nafsi (aku mengurusi diriku sendiri), pergilah kalian kepada selainku, pergilah kepada Nuh AS.”
Lalu mereka segera pergi menemui Nuh AS dan berkata, “Wahai Nuh, engkau adalah Rasul pertama yang diutus ke bumi, dan Allah telah memberikan nama kepadamu seorang hamba yang bersyukur (abdan syakuro), tidakkah engkau saksikan apa yang menimpa kami, tidakkah engkau lihat apa yang terjadi pada kami? Tidakkah engkau beri kami syafa’at menghadap Rabb-mu?”
Maka Nuh berkata, “Sesungguhnya Rabbku pada hari ini marah dengan kemarahan yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan tidak akan marah seperti ini sesudahnya. Sesungguhnya aku punya doa, yang telah aku gunakan untuk mendoakan (celaka) atas kaumku. Nafsi nafsi, pergilah kepada selainku, pergilah kepada Ibrahim AS!”
Lalu mereka segera menemui Ibrahim dan berkata, “Wahai Ibrahim, engkau adalah Nabi dan kekasih Allah dari penduduk bumi, syafa’atilah kami kepada Rabb-mu! Tidakkah kau lihat apa yang menimpa kami?”
Maka Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini marah dengan kemarahan yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan tidak akan marah seperti ini sesudahnya, dan sesungguhnya aku telah berbohong tiga kali. Nafsi nafsi, pergilah kalian kepada selainku, pergilah kalian kepada Musa AS!”
Lalu mereka segera pergi ke Musa, dan berkata, “Wahai Musa, engkau adalah utusan Allah. Allah telah memberikan kelebihan kepadamu dengan risalah dan kalam-Nya atas sekalian manusia. Syafa’atilah kami kepada Rabb-mu! Tidakkah kau lihat apa yang kami alami?”
Lalu Musa berkata, “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini sedang marah dengan kemarahan yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan tidak akan pernah marah seperti ini sesudahnya. Dan sesungguhnya aku telah membunuh seseorang yang aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Nafsi nafsi, pergilah kalian kepada selainku, pergilah kalian kepada Isa AS!”
Lalu mereka pergi menemui Isa, dan berkata, “Wahai Isa, engkau adalah utusan Allah dan kalimat-Nya yang dilontarkan kepada Maryam, serta ruh dari-Nya. Dan engkau telah berbicara kepada manusia semasa dalam gendongan. Berilah syafa’at kepada kami kepada Rabb-mu! Tidakkah kau lihat apa yang kami alami?”
Maka Isa berkata, “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini sedang marah dengan kemarahan yang tidak pernah marah seperti ini sebelumnya, dan tidak akan marah seperti ini sesudahnya. Nafsi nafsi, pergilah kepada selainku, pergilah kepada Muhammad SAW!”
Akhirnya mereka mendatangi Muhammad SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah telah mengampuni dosamu yang lalu maupun yang akan datang. Syafa’atilah kami kepada Rabb-mu, tidakkah kau lihat apa yang kami alami?”
Lalu Nabi Muhammad SAW pergi menuju bawah ‘Arsy. Di sana beliau bersujud kepada Rabb, kemudian Allah membukakan kepadanya dari puji-pujian-Nya, dan indahnya pujian atas-Nya, sesuatu yang tidak pernah dibukakan kepada seorangpun sebelum Nabi Muhammad. Kemudian Allah SWT berkata kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, angkat kepalamu, mintalah, niscaya kau diberi, dan berilah syafa’at niscaya akan dikabulkan!”
Maka Muhammad SAW mengangkat kepalanya dan berkata, “Ummatku wahai Rabb-ku, ummatku wahai Rabb-ku, ummatku wahai Rabb-ku!”
Lalu disampaikan dari Allah kepadanya, “Wahai Muhammad, masukkan ke surga di antara umatmu yang tanpa hisab dari pintu sebelah kanan dari sekian pintu surga, dan mereka adalah ikut memiliki hak bersama dengan manusia yang lain pada selain pintu tersebut dari pintu-pintu surga.”
***
Di dalam kisah ini, Rasulullah SAW juga menceritakan bahwa lebar jarak antara kedua sisi pintu surga itu, bagaikan jarak Makkah dan Hajar, atau seperti jarah Makkah dan Bushro. Hajar adalah nama kota besar pusat pemerintahan Bahrain. Sedangkan Bushro adalah kota di Syam. Bisa kita bayangkan, betapa tebalnya pintu-pintu surga itu..
Itulah sekelumit kisah masa depan ketika hari kiamat. Pada hari itu, Rasulullah SAW memberi syafa’at kepada ummatnya. Pada hari itu Rasulullah SAW menjadi sayyid (tuan)nya manusia. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW. (hudzaifah)
Maraji’ : Hadits Riwayat Bukhari – Muslim.

Disadur dari http://www.dakwatuna.com

Senin, 28 Maret 2011

Sirah Nabawi (Bagian ke-2)

Sumber Sejarah Nabi SAW
 
Sumber-sumber utama yang dipakai dalam menyusun Biografi Nabi SAW dapat disimpulkan ke dalam empat sumber:

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber pokok yang memuat tonggak-tonggak Sejarah Hidup Nabi Muhammad. Al-Qur’an meninggikan perihal kehidupan Rasu­lullah sewaktu masih kecil, dalam ayat:
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى
“Bukankah Dia dapati engkau dalam keadaan yatim, lalu engkau dipelihara. Dan Dia dapati engkau dalam kebingungan lalu kamu dibimbing?” (QS. Adh-Dhuha: 6-7)
Mengenai akhlaqnya Al-Qur’an menyatakan:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya engkau berakhlaq mulia.” (QS. Al­-Qalam: 4)
Di samping itu diceritakan pula kepedihan-­kepedihan dan penderitaan-penderitaan yang dialami Rasulullah dalam melaksanakan dakwahnya. Begitu pula tuduhan-tuduhan negatif dan destruktif yang digembar-gemborkan orang-orang kafir dan ingkar. Dalam Al-Qur’an terdapat pula keterangan tentang hijrah Nabi dan peperangan-peperangan penting yang terjadi setelah hijrah, seperti perang Badar, Uhud, Ahzab, Hunain, perjanjian Hudaibiyah, perang Hunain dan takluknya kota Makkah. Ada juga disebut salah satu mukjizatnya, yaitu Isra’ dan Mi’raj.
Secara global dapatlah dikatakan, Al-Qur’an me­nyinggung sebagian besar fakta-fakta sejarah Rasulullah SAW. Oleh karena itu kitab suci ini meru­pakan kitab yang keterangan-keterangannya paling terpercaya dan diakui secara historis, maka penje­lasan mengenai sejarah Nabi Muhammad mutlak harus dijadikan sumber data.
Memang, Al-Qur’an hanya menyinggung peris­tiwa-peristiwa dimaksud secara global. Suatu ketika Al-Qur’an berbicara mengenai suatu peperangan, tetapi dengan tidak menerangkan sebab-sebabnya, tempat terjadinya peperangan, jumlah kekuatan Islam dan musuh, dan tidak pula mengatakan jumlah prajurit Muslim yang gugur ataupun jumlah orang kafir yang tertawan. Sebaliknya Al-Qur’an hanya berbicara mengenai pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dan masing-masing peperangan tersebut. Begitu pula ketika ia membicarakan tentang kisah Nabi-nabi dan umat-umat sebelum Muhammad.
Oleh karenanya keterangan Al-Qur’an belum cukup untuk dapat menyusun sebuah biografi Nabi Muhammad dalam bentuk yang lengkap dan utuh.

2.  Sunnah

Sunnah Nabi yang diakui kebenarannya (shahih) di dunia Islam adalah Hadits-hadits yang terkodifikasi dalam enam buah buku (Al-Kutub as-sittah).
Buku-buku dimaksud adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Turmudzi dan Sunan Ibnu Majah[1]. Termasuk dalam kategori ini dua buah buku Hadits lagi, yaitu Al­-Muwattha Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad.
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menempati kedudukan teratas dilihat dari segi keshahihannya, sedangkan selainnya mengandung tidak saja Hadits-­hadits shahih, tetapi juga memuat Hadits hasan dan Hadits dha’if).
Dan kitab-kitab tersebut yang tercatat sebagian besar ihwal kehidupan Nabi SAW, peperangan, sikap dan tingkah lakunya, dapatlah disusun konsep yang menyeluruh bagi penyusunan biografi beliau. Hadits adalah sumber yang terpercaya, karena diriwayat­kan secara kronologis sampai kepada Nabi, sehingga isinya tidak bisa diragukan lagi kebenarannya.
Para orientalis dan orang-orang Islam yang lemah agamanya dan telah terpengaruh oleh ahli­-ahli dan barat, selalu berusaha menanamkan rasa ragu akan kebenaran isi kitab-kitab Hadits yang disebut di atas. Maksud mereka tidak lain untuk menghancurkan agama dan membuat orang ragu terhadap fakta-fakta sejarah. Tetapi dalam pada itu, ternyata masih selalu ada ulama-ulama yang mampu memutar balik tuduhan-tuduhan mereka itu. Pengarang sendiri, dalam buku yang berjudul, Sunnah dan Kedudukannya Dalam Hukum Islam, telah menyanggah apa-apa yang mereka tuduhkan dan telah melacak keraguan mereka dengan keterangan­ keterangan ilmiah.

3.     Syair yang Sezaman Dengan Kerasulan

Pada masa Nabi, orang-orang Musyrik menye­rang pribadi dan dakwah beliau melalui lisan para penyair. Hal ini memaksa penyair-penyair Muslim – seperti Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Riwawah dan lain-lain – memberikan pembelaan secara puitis pula. Hal ini tertulis dalam buku-buku kesusas­traan dan biografi yang dikarang kemudian.
Dan syair-syair itu dapat disarikan atau diketa­hui fakta-fakta yang berkenaan dengan situasi pada masa Rasulullah hidup dan pada saat dakwah Islamiyah untuk pertama kalinya tumbuh subur.

4.     Buku Biografi

Data sejarah Nabi merupakan riwayat lisan, yang oleh para sahabat disampaikan kepada generasi berikutnya. Sebagian sahabat ada yang mengkhusus­kan menyeleksi data itu secara teliti dan terperinci. Kemudian data itu diterima oleh para tabi’in untuk seterusnya ditulis.
Di antara kalangan tabi’in yang banyak mencurahkan perhatian kepada biografi Nabi ialah:
1. Abban bin Usman bin Affan (32-105 H),
2. Urwah bin Zuber bin Awwam (23-93),
3. Abdullah bin Abu Bakar Al-Anshari (wafat 135 H),
4. Muhammad bin Mus­urn bin Shihab Az-Zuhry (wafat 129 H).
Beralih kepada generasi seterusnya dan mereka mulai menyusun buku masing-masing. Yang masyhur di antara mereka adalah Muhammad bin Ishaq bin Yassar (wafat 152 H). Buku beliau ini merupakan buku yang dipercaya kebenarannya oleh para ulama dan ahli-ahli Hadits, terkecuali data yang diriwayat­kannya dan Malik dan Hisyam bin Urwah bin Zuber. Data yang diambil dari dua orang yang disebut terakhir ini dianggap invalid (tak dapat diper­caya), karena antara keduanya dengan Muhammad bin Ishaq terdapat sentimen pribadi.
Dalam mengarang bukunya “Al-Maghazi” Muhammad bin Ishaq mengumpulkan data yang terdiri dari Hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang didapatnya langsung dan masyarakat ketika dia tinggal di Mesir dan Madinah. Sayang sekali buku ini tidak sampai ke tangan kita, hal mana merupakan kerugian. Namun demikian isinya sempat terpelihara lewat Ibnu Hisyam yang mengarang biografi Nabi dengan menimba bahannya dan Al-Bakkai – seorang murid Muhammad bin Ishaq yang ternama.

a. Buku As-Sirah Karangan Ibnu Hisyam

Dia adalah Abdul Malik bin Ayyub Al-Anshar, dibesarkan di kota Basrah dan wafat tahun 213 H. Ibnu Hisyam mengarang buku berjudul As-Siratu An-Nabawiyah. Sumber datanya sama dengan sumber data yang dipakai oleh Muhammad bin Ishaq, yaitu melalui muridnya AI-Bakkai seperti disebutkan di atas. Tetapi ia mempunyai sumber data yang lain, yakni guru-gurunya. Apa-apa yang belum ditulis oleh Muhammad bin Ishaq ditulisnya dalam buku­nya itu. Seringkali beliau menampilkan pandangan yang berbeda dengan Muhammad bin Ishaq atau menyanggah pandangannya manakala bertentangan dengan tinjauan ilmiah daya kritiknya.
Beliau menyusun sejarah hidup Nabi yang dinilai paling lengkap, paling terpercaya dan mende­tail. Buku ini dijadikan referensi oleh banyak ahli dan telah diberi komentar oleh As-Suhaily (508 -581 H)

b. Buku Tabaqat Karangan Ibnu Saad

Beliau adalah Muhammad bin Mani’ Az-Zuhry lahir di Basrah pada tahun 168 H., wafat di Bagdad pada tahun 230 H. Ia adalah sekretaris pribadi Muhammad bin Umar Al-Waqidi, seorang ahli seja­rah kenamaan dengan spesialisasi di bidang Sejarah Peperangan dan Biografi. (130-207 H)
Dalam buku Tabaqat ini diuraikan Sejarah Hidup Nabi SAW. Kemudian ditambahnya pula dengan uraian mengenai tingkatan, suku dan tempat tinggal para sahabat dan tabi’in. Itulah sebabnya buku ini dianggap sebagai sumber data yang utama dalam segi biografi Nabi dan sejarah hidup para sahabat dan tabi’in.

c.  Buku Tarikh Karangan At-Thabary

Ia adalah Muhammad bin Jarir At-Thabary (224-310 H). Beliau juga seorang imam, ahli hukum Is­lam dan ahli Hadits. Dalam fiqih dia pernah mem­bangun mazhab tersendiri, tetapi tidak menyebar luas. Buku-buku sejarah yang dikarangnya tidak hanya mengenai sejarah hidup Nabi, tetapi juga sejarah pemerintahan Islam sejak mula sampai dengan pemerintahan pada masanya.
Sungguhpun riwayat-riwayat yang dikeluarkan­nya dianggap dapat dipercaya, namun seringkali beliau mengetengahkan riwayat-riwayat yang invalid yang diambilnya dari tokoh-tokoh yang memiliki beberapa kelemahan kuantitatif dan kualitatif dan itu semua justru diketahui oleh umum. Contoh yang dapat kita catat di sini misalnya Abu Muhnif, seo­rang penganut mazhab Syafi’i yang sangat fanatik.
Pada masa-masa ini penulisan sejarah hidup Nabi mengalami perkembangan pesat, dan timbullah buku-buku yang khusus membicarakan aspek tertentu dengan tema tertentu pula. Di antara buku-­buku tersebut: Dalail An-Nubuwah, karangan Al-Isfahany, As-Syamailul Muhammadiyah, karangan At-­Turmudzi, Zaadul Maad, oleh Ibnu Qayyim Al-Jauzi, As-Syifa’i al-QadhiIyadh dan Al-Mawahibul Ladunniyah oleh Al-Qusthulany. Buku terakhir ini telah dikomentari oleh As-Zarqany (wafat 1122 H) dalam bukunya yang terdiri dari delapan jilid.
Sampai sekarang para ulama masih terus menga­rang buku-buku sejarah hidup Nabi dengan metode yang dapat diterima oleh zaman kini. Di antara buku-­buku biografi terkemuka dewasa ini terdapat Nurul Yaqin karangan Syeikh Muhammad Al-Khudry. Buku ini banyak digemari dan dijadikan literatur pokok pada beberapa perguruan tinggi yang ada di berba­gai negeri Islam.
– Tamat


Catatan Kaki:

1] Nama Iengkap masing-masing Imam Hadits itu adalah:
- Bukhari = Muhammad bin Ismail Al-Mughirah. Lahir tahun 194 H.
- Muslim = Muslim bin Hajjaj AI-Qurasyi. Lahir tahun 204 H.
- Abu Daud = Sulaiinan bin Asy’ast as-Sijistani. Lahir tahun 202 H.
- An-Nasa’I = Ahmad bin Syuaib A1-Khurasl. Lahir tahun 200 H.
- Turmudzi = Muhammad bin Isa At-Turmudzi. Lahir tahun 200 H.
- Ibnu Majah = Muhammad bin Yazid Al-QazwInl. Lahir tahun 209 H.

Disadur dari http://www.dakwatuna.com/