Senin, 27 Juni 2011

Kisah Shahabat (Hudzaifah Ibnul Yaman r.a)

Sahabat Rasulullah SAW yang kita bicarakan kali ini adalah Hudzaifah Ibnul Yaman. Hudzaifah Ibnu Yaman, intelejen Rasulullah yang juga digelari “Shahibu Sirri Rasulullah” (Pemegang rahasia Rasulullah) ini menjadi sahabat ke-13 yang kita kaji sirah-nya dalam Sirah Sahabat blog Bersama Dakwah. Selamat membaca.
***

“Jika engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang Muhajir. Dan jika ingin digolongkan kepada Anshar, engkau memang seorang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”

Itulah kalimat yang diucapkan Rasulullah SAW kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, ketika dia pertama kali bertemu muka dengan beliau di Makkah. Mengenai pilihan itu, apakah dia tergolong Muhajirin atau Anshar, yaitu dua golongan yang dicintai kaum muslimin, mempunyai kisah tersendiri bagi Hudzaifah.

Al-Yaman, ayah Hudzaifah, adalah orang Makkah dari Bani Abbas. Oleh karena suatu hutang darah dalam kaumnya, dia terpaksa menyingkir dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Di sana dia minta perlindungan pada Bani Abd Asyhal dan bersumpah setia pada mereka untuk menjadi keluarga dalam persukuan Bani Abd Asyhal. Kemudian dia menikah dengan anak perempuan suku Asyhal. Dari perkawinannya itu lahirlah anaknya, Hudzaifah. Maka hilanglah halangan yang menghambat Al-Yaman untuk memasuki kota Makkah. Sejak saat itu dia bebas pulang pergi antara Makkah dan Madinah. Namun begitu, dia lebih banyak tinggal dan menetap di Makkah.

Ketika Islam memancarkan cahayanya ke seluruh jazirah Arab, Al-Yaman termasuk salah seorang dari sepuluh orang Bani Abbas untuk menemui Rasulullah SAW dan menyatakan Islam di hadapan beliau. Segala peristiwa yang kita sebutkan itu terjadi sebelum hijrah Rasulullah ke Madinah. Sesuai dengan garis keturunan yang berlaku di negeri Arab, yaitu menurut garis keturunan bapak (patriarchal), maka Hudzaifah adalah orang Makkah yang lahir dan dibesarkan di Madinah.

Hudzaifah ibnul Yaman lahir di rumah tangga muslim, dipelihara dan dibesarkan dalam pangkuan kedua ibu bapaknya yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama. Karena itu Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah SAW.

Kemudian Hudzaifah hendak bertemu dengan Rasulullah SAW memenuhi setiap rongga hatinya. Sejak masuk Islam, dia senantiasa menunggu-nunggu berita, dan nyinyir bertanya tentang kepribadian dan ciri-ciri beliau. Bila hal itu dijelaskan orang kepadanya, makin bertambah cinta dan kerinduannya kepada Rasulullah.

Pada suatu hari dia berangkat ke Makkah sengaja hendak menemui Rasulullah. Setelah bertemu, Hudzaifah bertanya kepada beliau, “Apakah saya ini seorang muhajir atau Anshar, ya Rasulullah?”

Jawab Rasulullah, “Jika engkau ingin disebut muhajir, engkau memang seorang muhajir; dan jika engkau ingin disebut Anshar, engkau memang orang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”

Jawab Hudzaifah, “Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!.”

Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam perang Badar. Mengapa dia tidak turut dalam perang Badar? Soal ini pernah diceritakan oleh Hudzaifah.

Katanya: Yang menghalangiku untuk turut berperang dalam peperangan Badar karena ketika itu aku dan bapakku sedang pergi ke luar kota Madinah. Dalam perjalanan pulang, kami ditangkap oleh kaum kafir Quraisy. Tanya mereka, “Hendak ke mana kalian?”
Jawab kami, “Ke Madinah!”
Tanya mereka, “Kalian hendak menemui Muhammad?”
Jawab kami, “Kami hendak pulang ke rumah kami, di Madinah!”

Mereka tidak bersedia membebaskan kami kecuali dengan perjanjian bahwa kami tidak akan membantu Muhammad, dan tidak akan memerangi mereka. Sesudah itu barulah kami dibebaskannya.

Setelah bertemu dengan Rasulullah, kami ceritakan kepada beliau peristiwa tertangkapnya kami oleh kaum kafir Quraisy dan perjanjian dengan mereka. Lalu kami tanyakan kepada beliau, apa yang harus kami lakukan.

Jawab Rasulullah, “Batalkan perjanjian itu, dan mari kita mohon pertolongan Allah untuk mengalahkan mereka!”

Dalam peperangan Uhud, Hudzaifah turut memerangi kaum kafir bersama-sama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam peperangan itu Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya tewas di Uhud, menjadi syahid. Bapaknya syahid oleh pedang kaum muslimin sendiri, bukan oleh kaum musyrikin.

Ceritanya, pada hari terjadinya perang Uhud, Rasulullah SAW menugaskan Al-Yaman (ayah Hudzaifah) dan Tsabit bin Waqsy mengawal benteng tempat para wanita dan anak-anak, karena keduanya sudah lanjut usia. Ketika perang memuncak dan berkecamuk dengan sengit, Al-Yaman berkata kepada temannya, “Bagaimana pendapatmu; apalagi yang harus kita tunggu. Umur kita hanya tinggal selama menunggu keledai puas minum. Kita mungkin saja mati hari ini atau besok. Apakah tidak lebih baik kita ambil pedang lalu menyerbu ke tengah-tengah musuh membantu Rasulullah. Mudah-mudahan Allah SWT memberi kita rezeki menjadi syuhada bersama-sama dengan Nabi-Nya.” Lalu keduanya mengambil pedang mereka, dan terjun ke arena pertempuran.

Tsabit bin Waqsy memperoleh kemuliaan di sisi Allah. Dia syahid di tangan kaum musyrikin. Tetapi Al-Yaman bapak Hudzaifah menjadi sasaran pedang kaum muslimin sendiri, karena mereka tidak mengenalnya. Hudzaifah berteriak, “Itu bapakku…! Itu bapakku…!”

Tetapi sayang, tidak seorang pun yang mendengar teriakannya., sehingga bapaknya jatuh tersungkur oleh teman-temannya sendiri. Hudzaifah tidak berkata apa-apa, kecuali hanya berdoa, “Semoga Allah SWT mengampuni kalian; Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Rasulullah SAW memutuskan untuk membayar tebusan darah (diyat) bapak Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Kata Hudzaifah, “Bapakku menginginkan supaya dia mati syahid. Keinginannya itu kini telah dicapainya. Wahai Allah! Saksikanlah, sesungguhnya aku menyedekahkan diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.”

Maka dengan pernyataannya itu, penghargaan Rasulullah terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam.

Rasulullah SAW menilai, dalam pribadi Hudzaifah ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan yang menonjol: pertama, cerdas tiada bandingan, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat, memegang rahasia, dan berdisiplin tinggi; sehingga tak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.

Sudah menjadi salat satu kebijaksanaan Rasulullah, berusaha menyingkap keistimewaan para shahabatnya, dan menyalurkannya sesuai dengan bekat dan kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing mereka. Yakni menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.

Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah adalah keahdiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat, yang dilancarkan mereka terhadap Rasulullah dan para sahabat. Maka dalam menghadapi kesulitan itu, Rasulullah mempercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah ibnul Yaman, dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik kepada para sahabat yang lain atau kepada siapa saja. Dengan mempercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Dan karena itu, Hudzaifah ibnul Yaman digelari oleh para sahabat dengan “Shahibu Sirri Rasulullah” (Pemegang rahasia Rasulullah).

Pada suatu ketika, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya, dan membutuhkan keterampilan luar biasa untuk mengatasinya. Karena itulah beliau memilih orang yang cerdas, tanggap dan berdisiplin itnggi. Peristiwa itu terjadi pada puncak peperangan Khandaq. Kaum muslimin telah lama dikepung rapat oleh musuh, sehingga mereka merasakan ujian yang berat, menahan penderitaan yang hampir tak tertanggungkan, serta kesulitan-kesulitan yang tak teratasi. Semakin hari situasi semakin gawat, sehingga menggoyahkan hati yang lemah. Bahkan menjadikan sementara kaum muslimin berprasangka yang tidak wajar terhadap Allah SWT.

Namun begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan menetukan itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang musyrik, tidak lebih baik keadaannya dari pada yang dialami kaum muslimin. Karena murka-Nya, maka Allah Azza wa Jalla menimpakan bencana kepada mereka dan melemahkan kekuatannya. Allah meniupkan angin topan yang amat dahsyat, sehingga menerbangkan kemah-kemah mereka, membalikkan periuk, kauli dan belanga, memadamkan api, menyiram muka mereka dengan pasir dan menutup mata dan hidung mereka dengan tanah.

Pada situasi genting dalam sejarah setiap peperangan, pihak yang kalah ialah yang lebih dahulu mengeluh dan pihak yang menang ialah yang dapat bertahan menguasai diri melebihi lawannya. Maka dalam detik-detik seperti itu, amat diperlukan informasi secepatnya mengenai kondisi musuh, untuk menetapkan penilaian dan landasan dalam mengambil keputusan melalui musyawarah.

Ketika itulah Rasulullah membutuhkan keterampilan Hudzaifah ibnul Yaman, untuk mendapatkan info-info yang tepat dan pasti. Maka beliau memutuskan untuk mengirim Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat. Marilah kita dengarkan bagaimana dia melaksanakan tugas maut tersebut.

Kata Hudzaifah: Malam itu kami (tentara muslimin) duduk berbaris, Abu Sufyan dengan dua baris pasukannya kaum musyrikin. Makkah mengepung kami sebelah atas. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah berada di sebelah bawah. Yang kami khawatirkan ialah serangan mereka terhadap para wanita dan anak-anak kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami alami gelap malam yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak jari kami sendiri. Angin bertiup sangat kencang sehingga desirannya menimbulkan suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan orang-orang munafik minta izin untuk pulang kepada Rasulullah dengan alasan rumah mereka tidak terkunci. Padahal sebenarnya rumah mereka terkunci.

Setiap orang yang minta izin pulang, diberi izin oleh Rasulullah, tidak ada yang dilarang atau ditahan beliau. Smeuanya keluar dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan, hanya tinggal 300 orang.

Rasulullah berdiri dan berjalan memeriksa kami satu per satu. Setelah beliau sampai ke dekatku, aku meringkuk kedinginan. Tidak ada yang melindungi tubuhku dari udara dingin yang menusukku, selain sehelai sarung butut kepunyaan istriku, yang hanya dapat menutupi hingga lutut. Beliau mendekatiku yang sedang menggigil, seraya bertanya, “Siapa ini?”
“Hudzaifah.” Jawabku.
“Hudzaifah!” Tanya Rasulullah minta kepastian. Aku merapat ke tanah sulit berdiri karena lapar dan dingin.
“Betul, ya Rasulullah!” jawabku.
“Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh; pergilah engkau ke sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti, dan laporkan kepadaku segera!” kata beliau memerintah.

Aku bangun dengan ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk. Maka Rasulullah berdoa, “Wahai Allah, lindungilah dia, dari depan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah.”

Demi Allah! Sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku, dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa. Tatkala aku memalingkan diriku dari Rasulullah, beliau memanggilku dan berkata, “Hai, Hudzaifah! Sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali melapir kepadaku!”
Jawabku, “Saya siap, ya Rasulullah!”

Lalu aku pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Aku berhasil menysuup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah aku anggota pasukan mereka. Belum lama aku berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando.

Katanya, “hai pasukan Quraisy! Dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!”

Mendengar ucapan Abu Sufyan itu, aku segera memegang tangan yang di sampingku seraya bertanya, “Siapa kamu?”

Jawabnya, “Aku di anu, anak si anu!”

Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai pasukan Quraisy! Demi Tuhan! Sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhan berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat.”

Selesai berkata begitu, Abu Sufyan langsung mendekati untanya, dilepaskannya tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku.

Aku kembali ke pos komando menemui Rasulullah. Kudapati beliau sedang shalat di tikar kulit, milik salah seorang istrinya. Tatkala beliau melihatku, didekatkannya kakinya kepadaku dan diulurkannya ujung tikar menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu kulaporkan kepada beliau segala kejadian yang kulihat dan kudengar. Beliau sangat senang dan bersuka hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT.

Hudzaifah ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya. Sehingga kepada para khalifah sekalipun, yang mencoba mengorek rahasia tersebut tidak pernah bocor olehnya. Sampai-sampai khalifah Umar bin Khattab r.a. apabila ada orang muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu?” Jika mereka jawab ada, beliau turut menyalatkannya. Bila mereka menjawab tidak, beliau enggan menyalatkannya.

Pada suatu ketika khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdki, “Adakah diantara pegawai-pegawaiku orang munafik?”
Jawab Hudzaifah, “Ada seorang!”
Kata Umar, “Tolong tunjukkan kepadaku, siapa?”
Jawab Hudzaifah, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”
“Seandainya aku tunjukkan, tentu khalifah akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah bercerita.

Namun begitu, amat sedikit orang yang mengetahu Hudzaifah ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Hamadzan dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi kaum muslimin dari genggaman kekuatan Persia yang menuhankan berhala. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushaf Al-Qur’an, sesudah Kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum muslimin. Dan Hudzaifah, hamba Allah yang sangat takut kepada Allah, dia juga takut melanggar perintah dan larangan Allah, dan sangat takut akan sika-Nya.

Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya tengah malam.

Hudzaifah bertanya kepada mereka, “Jam berapa sekarang?”
Jawab mereka, “Sudah dekat Subuh.”
Kata Hudzaifah, “Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.”
Kemudian dia bertanya, “Adakah tuan-tuan membawa kafan?”
Jawab mereka, “Ada!”
Kata Hudzaifah, “Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan jika tidak baik dalam pandangan Allah Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku.”

Sesudah itu dia berdoa, “Wahai Allah. Sesungguhnya Engkau tahu, bahwa aku lebih suka fakir dari pada kaya, aku lebih suka sederhana dari pada mewah, dan aku lebih suka mati dari pada hidup.”

Sesudah berdoa begitu ruhnya berangkat. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman.[sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]

Disadur dari http://muchlisin.blogspot.com

Minggu, 26 Juni 2011

Hadits Arba’in An Nawawi (Hadits 10)

HADITS KESEPULUH
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالَى :  ,يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً - وَقاَلَ تَعَالَى : , يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ - ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ .
[رواه مسلم]
Terjemah hadits /  ترجمة الحديث :
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firmannya : Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah. Dan Dia berfirman : Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan perjalan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata : Yaa Robbku, Ya Robbku, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.
(Riwayat Muslim).
Pelajaran :
1.     Dalam hadits diatas terdapat pelajaran akan sucinya Allah ta’ala dari segala kekurangan dan cela.
2.     Allah ta’ala tidak menerima kecuali sesuatu yang baik. Maka siapa yang bersedekah dengan barang haram tidak akan diterima.
3.     Sesuatu yang disebut baik adalah apa yang dinilai baik disisi Allah ta’ala.
4.     Berlarut-larut dalam perbuatan haram akan menghalangi seseorang dari terkabulnya doa.
5.     Orang yang maksiat tidak termasuk mereka yang dikabulkan doanya kecuali mereka yang Allah kehendaki.
6.     Makan barang haram dapat merusak amal dan menjadi penghalang diterimanya amal perbuatan.
7.     Anjuran untuk berinfaq dari barang yang halal dan larangan untuk berinfaq dari sesuatu yang haram.
8.     Seorang hamba akan diberi ganjaran jika memakan sesuatu yang baik dengan maksud agar dirinya diberi kekuatan untuk ta’at kepada Allah.
9.     Doa orang yang sedang safar dan yang hatinya sangat mengharap akan terkabul.
10.   Dalam hadits terdapat sebagian dari sebab-sebab dikabulkannya do’a : Perjalanan jauh, kondisi yang bersahaja dalam pakaian dan penampilan dalam keadaan kumal dan berdebu, mengangkat kedua tangan ke langit, meratap dalam berdoa, keinginan kuat dalam permintaan, mengkonsumsi makanan, minuman dan pakaian yang halal.

Disadur dari http://haditsarbain.wordpress.com 

Senin, 20 Juni 2011

Kisah Shahabat (Hakim bin Hazam bin Khuwailid r.a)

Pernahkah Anda mendengar berita tentang sahabat ini? Sejarah mencatat, dia adalah satu-satunya anak yang lahir dalam ka’bah yang agung.

Pada suatu hari ibunya yang sedang hamil tua masuk ke dalam ka’bah bersama-sama rombongan orang-orang sebayanya, untuk melihat-lihat ka’bah. Hari itu ka’bah dibuka untuk umum sesuai dengan ketentuan. Ketika berasa dalam ka’bah, tiba-tiba si ibu mulas hendak melahirkan. Dia tidak sanggup lagi berjalan keluar ka’bah. Maka diberikan orang tikar kulit kepadanya, dan lahirlah bayinya di atas tikar tersebut.

Bayi itu ialah Hakim bin Hazam bin Khuwailid, yaitu anak laki-laki dari saudara Ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid.

Hakim bin Hazam dibesarkan dalam keluarga turunan bangsawan yang berakar dalam dan terkenal kaya raya. Karena itu tidak heran kalau dia menjadi orang pandai, mulia dan banyak berbakti. Dia diangkat menjadi kepala kaumnya, dan diserahi urusan rifadah (yaitu lembaga yang memberi bantuan kepada jamaah haji yang kehabisan bekal) di masa jahiliyah. Untuk itu dia banyak bersahabat dekat dengan Rasulullah SAW, sebelum beliau menjadi Nabi. Sekalipun Hakim bin Hazam kira-kira lima tahun lebih tua dari Nabi SAW, tetapi dia lebih senang, lebih ramah dan lebih suka berteman dan bergaul dengan beliau. Rasulullah mengimbanginya pula dengan kasih sayang dan persahabatan yang lebih akrab. Kemudian ditambah pula dengan hubungan kekeluargaan, karena Rasulullah menikahi bibi Hakim, Khadijah binti Khuwailid r.a. Maka hubungan antara keduanya bertambah erat.

Anda boleh jadi heran, walaupun hubungan persahabatan dan kekerabatan antara keduanya demikian erat, ternyata Hakim tidak segera masuk Islam, melainkan sesudah pembebasan kota Makkah dari kekuasaan kafir Quraisy, kira-kira dua puluh tahun sesudah Muhammad diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Diperkirakan orang Hakim bin Hazam, yang dikaruniai Allah akal sehat dan pikiran tajam ditambah dengan hubungan kekeluargaan, serta persahabatan yang akrab dengan Rasulullah, menjadi mukmin pertama-tama, membenarkan dakwah Muhammad, dan menerima ajarannya dengan spontan.

Tetapi kehendak Allah lain. Dan kehendak Allah itu jualah yang berlaku.

Kita heran dengan terlambatnya Hakim bin Hazam masuk Islam, tetapi Hakim sendiri pun tidak kurang keheranannya akan hal itu. Maka setelah dia masuk Islam dan merasakan nikmat iman, timbullah penyesalan mendalam, karena umurnya hampir habis dalam kemusyrikan dan mendustakan Nabi-Nya.

Putranya pernah melihat dia menangis. Dan ia bertanya, ”Mengapa Bapak menangis?”
”Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan Bapak menangis, hai anakku!” jawab Hakim.

”Pertama, keterlambatan masuk Islam menyebabkan aku tertinggal merebut banyak kebajikan. Seandainya aku nafkahkan emas sepenuh bumi, belum seberapa artinya dibandingkan dengan kebajikan yang mungkin aku peroleh dengan Islam. Kedua, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan dalam perang Badar dan Uhud. Lalu aku berkata pada diriku ketika itu, aku tidak lagi akan membantu kaum Quraisy memerangi Muhammad, dan tidak akan keluar dari kota Makkah. Tetapi aku senantiasa ditarik-tarik kaum Quraisy untuk membantu mereka.

Ketiga, setiap aku hendak masuk Islam, aku loihat pemimpin-pemimpin Quraisy yang lebih tua tetao berpegang pada kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Lalu aku ikut saja mereka secara fanatik.

Kini aku menyesal, mengapa aku tidak masuk Islam lebih dini. Yang mencelakakan kita tidak lain, melainkan fanatik buta terhadap bapak-bapak dan orang-orang tua kita. Bagaimana aku tidak akan menangis karenanya, hai anakku?”

Sebagaimana kita heran terlambatnya Hakim bin Hazam masuk Islam, begitu pulalah dia heran terhadap dirinya. Rasulullah pun heran terhadap orang yang berpikiran tajam dan berpaham luas seperti Hakim bin Hazam, tapi menutup diri untuk menerima Islam. Padahal dia dan golongan orang-orang yang seperti dia ingin segera masuk Islam.

Semalam sebelum memasuki kota Makkah, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat, ”Di Makkah terdapat empat orang yang tidak suka kepada kemusyrikan, dan lebih cenderung kepada Islam.”

”Siapa mereka itu, ya Rasulullah,” Tanya para sahabat. ”mereka ialah: Attab bin Usaid, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hazam, dan Suhail bin Amr.” Maka dengan karunia Allah, mereka masuk Islam secara serentak.

Ketika Rasulullah SAW masuk kota Makkah sebagai pemenang, beliau tidak ingin memperlakukan Hakim bin Hazam melainkan dengan cara terhormat. Maka beliau perintahkan juru pengumuman agar menyampaikan beberapa pengumuman:
”Siapa yang mengaku tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan mengaku Muhammad sesungguhnya hamba Allah dan Rasul-Nya, maka dia aman.
Siapa yang mengunci pintu rumahnya, maka dia aman.
Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, makan dia aman.
Siapa yang masuk rumah Hakim bin Hazam, maka dia aman.”

Rumah Hakim bin Hazam terletak di kota Makkah bagian bawah, sedangkan rumah Abu Sufyan bin Harb terletak di bagian atas kota Makkah.

Hakim bin Hazam memeluk Islam dengan sepenuh hati. Dan iman mendarah daging di kalbu. Dia bersumpah akan selalu menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah, dan menghentikan bantuan dana kepada Quraisy untuk memusuhi Rasulullah dan para sahabat beliau. Hakim menepati sumpahnya dengan sungguh-sungguh.

Sekali peristiwa di Darun Nadwah (Balai Sidang), suatu tempat terhormat bagi kaum Quraisy di masa jahiliyah untuk bermusyawarah, para pemimpin, tetua-tetua, dan para pembesar memutuskan hendak membunuh Rasulullah SAW. Hakim ingin melepaskan diri dari kenangan pada putusan tersebut. Untuk itu dia membuat tirai penutup yang dapat melupakan ingatannya pada masa lalu yang dibencinya itu. Lalu dibelinya gedung Darun nadwah tersebut seharga seratus ribu dirham.

Para pemuda Quraisy bertanya kepadanya, ”Untuk apa gedung yang dimuliakan kaum Quraisy itu Anda beli, hai paman?”

Hakim menjawab, ”Bukan begitu, hai anakku! Segala kemuliaan telah sirna. Yang mulia hanyalah taqwa. Aku tidak hendak membelinya, melainkan karena ingin menjual kembali untuk membeli rumah di surga. Aku saksikan kepada kalian semuanya, uang harganya akan kusumbangkan untuk perjuangan fi sabilillah.”

Sesudah masuk Islam, Hakim bin Hazam pergi menunaikan ibadah haji. Dia membawa seratus ekor unta yang diberinya pakaian kebesaran yang megah. Kemudian unta-unta itu disembelihnya sebagai kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.

Waktu hajii tahun berikutnya, dia wukuf di Arafah beserta seratus orang hamba sahayanya. Masing-masing sahaya tergantung di lehernya sebuah kalung perak bertuliskan:
”Bebas karena Allah Azza wa Jalla, dari Hakim bin Hazam.”

Selesai menunaikan ibadah haji, budak-budak itu dimerdekakannya semuanya.

Waktu naik haji ketiga kalinya, Hakim bin Hazam mengurbankan seribu ekor biri-biri, seribu ekor persis, disembelihnya di Mina, utnuk dimakan dagingnya oleh fakir miskin, guna mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.

Sesudah perang Hunain, Hakim bin Hazam meminta harta rampasan perang kepada Rasulullah SAW, lalu diberi oleh beliau. Kemudian dimintanya lagi, maka diberi pula oleh beliau. Akhirnya harta rampasan perang yang diterima Hakim dengan jalan meminta itu berjumlah seratus ekor unta yang kini menjadi cerita (hadits) dalam Islam.

Maka bersabda Rasulullah kepada Hakim, ”Sesungguhnya harta itu manis dan enak. Siapa yang mengambilnya dengan rasa syukur dan rasa cukup, dia akan diberi barakah dengan harta itu. Dan siapa yang mengambilnya dengan nafsu serakah, dia tidak akan mendapat barakah dengan harta itu, bahkan dia seperti orang makan yang tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta atau menerima).”

Mendengar sabda Rasulullah tersebut, Hakim bin Hazam bersumpah. ”Ya Rasulullah! Demi Allah yang mengutus engkau dengan agama yang baik, aku berjanji tidak akan meinta-minta apapun kepada siapa saja sesudah ini. Dan aku berjanji tidak akan mengambil sesuatu dari orang lain sampai aku berpisah dengan dunia!”

Sumpah tersebut dipenuhi Hakim dengan sungguh-sungguh. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, lebih dari satu kali Hakim bin Hazam dipanggil Abu Bakar supaya mengambil gajinya dari baitul mal. Tetapi dia tidak mengambilnya. Tatkala jabatan Khalifah pindah kepada Umar Al-Faruq, Hakim pun tidak mau mengambil gajinya setelah dipanggil beberapakali.

Khalifah Umar mengumumkan di hadapan orang banyak. ”Ya ma’asyiral muslimin! Saya telah memanggil Hakim bin Hazam beberapa kali supaya mengambil gajinya dari baitul mal. Tetapi dia tidak mengambilnya!”

Bagitulah, sejak mendengar sabda Rasulullah tersebut di atas, Hakim selamanya tidak mau mengambil sesuatu dari seseorang sampai dia meninggal. [Sumber: Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah SAW]

Disadur dari http://muchlisin.blogspot.com

Minggu, 19 Juni 2011

Hadits Arba’in An Nawawi (Hadits 9)

HADITS KESEMBILAN

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ .
[رواه البخاري ومسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhr radhiallahuanhu dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka.
(Bukhori dan Muslim)
Pelajaran :
1.     Wajibnya menghindari semua apa yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam.
2.     Siapa yang tidak mampu melakukan perbuatan yang diperintahkan secara keseluruhan dan dia hanya mampu sebagiannya saja maka dia hendaknya melaksanakan apa yang dia mampu laksanakan.
3.     Allah tidak akan membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya.
4.     Perkara yang mudah tidak gugur karena perkara yang sulit.
5.     Menolak keburukan lebih diutamakan dari mendatangkan kemaslahatan.
6.     Larangan untuk saling bertikai dan anjuran untuk bersatu dan bersepakat.
7.     Wajib mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, ta’at dan menempuh jalan keselamatan dan kesuksesan.
8.     Al Hafiz berkata : Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk menyibukkan diri dengan perkara yang lebih penting yang dibutuhkan saat itu ketimbang perkara yang saat tersebut belum dibutuhkan.

Disadur dari http://haditsarbain.wordpress.com

Senin, 13 Juni 2011

Kisah Shahabat (Habib bin Zaid Al-Anshary r.a.)

Kali ini kita akan membicarakan Sahabat Rasulullah yang masih muda sehingga belum mendapat izin ikut perang badar dan perang uhud. Namun keberaniannya jauh melampaui usianya. Dialah Habib bin Zaid Al-Anshary, sahabat yang kita bicarakan dalam sirah sahabat ke-14 ini.
***

Dalam sebuah rumah penuh keharuman iman di setiap sudutnya; di lingkungan keluarga yang di dahinya tampak membayangkan gambaran pengorbanan, di sanalah Habib bin Zaid dibesarkan.

Ayah Habib, Zaid bin ‘Ashim, adalah salah seorang dari rombongan Yatsrib yang pertama-tama masuk Islam. Dia termasuk kelompok tujuh puluh yang melakukan baiat dengan Rasulullah di Aqabah. Bersama Zaid bin Ashim turut pula di baiat istri dan dua orang putranya.

Ibu Habib, Ummu Amarah Nasibah Al-Maziniyah, merupakan wanita pertama yang memanggul senjata untuk mempertahankan agama Allah dan membela Muhammad Rasulullah.

Saudaranya, Abdullah bin Zaid, adalah pemuda yang mempertaruhkan lehernya sebagai tebusan dalam perang Uhud, untuk melindungi Rasul yang mulia. Karenanya, Rasulullah berdoa bagi keluarga tersebut, “Semoga Allah melimpahkan barakah dan rahmat-Nya bagi kalian sekeluarga.”

Nur Ilahi (cahaya iman) telah menyinari hati Habib bin Zaid sejak dia masih muda remaja, sehingga sangat kokoh melekat di hatinya.

Telah ditakdirkan Allah dia bersama-sama ibu, bapak, bibi, dan saudaranya pergi ke Makkah, turun mengambil saham beserta kelompok tujuh puluh untuk melakukan baiat dengan Rasulullah SAW dan melukis sejarah. Habib bin Zaid mengulurkan tangannya yang kecil kepada Rasulullah sambil mengucapkan sumpah setia pada malam gelap gulita di Aqabah.

Maka sejak hari itu dia lebih mencintai Rasulullah dari pada ibu bapaknya sendiri. Dan Islam lebih mahal baginya dari pada dirinya sendiri.

Habib bin Zaid tidak turut berperang dalam peperangan Badar, karena ketika itu dia masih kecil. Begitu pula dalam peperangan Uhud, dia belum memperoleh kehormatan untuk ikut mengambil saham, karena dia belum kuat memanggul senjata. Tetapi sesudah kedua peperangan itu dia selalu ikut berperang mengikuti Rasulullah SAW, dan bertugas sebagai pemegang bendera perang yang dibanggakan.

Pengalaman-pengalaman perang yang dialami Habib bagaimana pun besar dan mengejutkannya, pada hakikatnya tiada lain ialah merupakan proses mematangkan mental Habib untuk menghadapi peristiwa yang sungguh mengguncangkan hati, seperti terguncangnya milyunan kaum muslimin sejak masa kenabian hingga masa kita sekarang. Marilah kita simak kisah ganas ini dari awalnya.

Pada tahun kesembilan hijriyah tiang-tiang Islam telah kuat tertancap dalam di bumi Arab. Jamaah dari seluruh pelosok Arab berdatangan ke Yatsrib menemui Rasulullah SAW, masuk Islam di hadapan beliau, dan berjanji (baiat) patuh dan setia.

Diantara itu terdapat pula rombongan Bani Hanifah dari Nejed. Mereka menambatkan onta-ontanya di pinggir kota Madinah, dijaga oleh beberapa orang kawannya. Seorang diantara penjaga ini bernama Musailamah bin Habib Al-Hanafy. Para utusan yang tidak bertugas menjaga kendaraan, pergi menghadap Rasulullah SAW. Di hadapan beliau mereka menyatakan masuk Islam beserta kaumnya. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan ramah tamah. Bahkan beliau memerintahkan supaya memberi hadiah bagi mereka dan bagi kawan-kawannya yang tidak turut hadir, karena bertugas menjaga kendaraan.

Tidak berapa lama setelah para utusan Bani Hanifah ini sampai di kampung mereka, Nejed, Musailamah bin Habib Al-Hanafy murtad dari Islam. Dia berpidato di hadapan orang banyak menyatakan dirinya Nabi dan Rasul Allah. Dia mengatakan bahwa Allah mengutusnya menjadi Nabi untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus Muhammad bin Abdullah untuk kaum Quraisy. Bani Hanifah menerima pernyataan Musailamah tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi yang terpenting diantaranya ialah karena fanatik kesukuan.

Seorang dari pendukungnya berkata, “Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah sungguh bohong. Tetapi kebohongan orang Rabi’ah (Musailamah) lebih saya sukai dari pada kebenaran orang Mudhar (Muhammad).

Tatkala pengikut Musailamah bertambah banyak dan kuat, dia mengirim surat kepada Muhammad Rasulullah:

“Teriring salam untuk Anda. Adapun sesudah itu…
Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi sekutu Anda. Separuh bumi ini adalah untuk kami, dan separuh lagi untuk kaum Quraisy.
Tetapi kaum Quraisy berbuat keterlaluan.”

Surat tersebut diantar oleh dua orang utusan Musailamah kepada Rasulullah SAW. Selesai membaca surat itu, Rasulullah SAW bertanya kepada keduanya, “Bagaimana pendapat Anda berdua (mengenai pernyataan Musailamah ini)"?

Jawab mereka, “Kami sependapat dengan Musilamah!”

Sabda Rasulullah SAW,
“Demi Allah! Seandainya tidak dilarang membunuh para utusan, sesungguhnya kupenggal leher kalian.”

Rasulullah membalas surat Musailamah sebagai berikut:
“Dengan nama Allah yh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah pembohong.
Keselamatan hanyalah bagi siapa yang mengikuti petunjuk (yang benar)
Adapun sesudah itu…
Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah, Dialah yang berhak mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendakinya.
Kemenangan adalah bagi orang-orang yang taqwa.”

Surat balasan tersebut dikirimkan beliau melalui kedua utusan Musailamah.

Musailamah bertambah jahat, dan kejahatannya semakin meluas. Rasulullah mengirim surat lagi kepada Musailamah, memperingatkan supaya dia menghentikan segala kegiatannya yang menyesatkan itu. beliau menunjuk Habib bin Zaid, yaitu pahlawan yang kita ceritakan ini, untuk mengantarkan surat tersebut kepada Musailamah. Ketika itu Habib masih muda belia. Tetapi dia pemuda mukmin yang beriman kuat, sejak dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Habib bin Zaid berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya dengan penuh semangat, tanpa merasa lelah dan membuang-buang waktu atau bermalas-malasan. Gunung yang tinggi didakinya, lembah yang dalam dituruninya. Akhirnya sampailah dia ke perkampungan Nejed. Maka diberikannya surat Rasulullah itu langsung kepada Musailamah.

Ketika membaca surat tersebut dadanya turun naik karena iri dan dengki. Mukanya menguning memancarkan kejahatan dan kepalsuan. Lalu diperintahkannya kepada pengawal supaya mengikat Habib bin Zaid.

Besuk pagi Musailamah muncul di majelisnya diiringkan para pembesar dan pengikutnya kiri-kanan. Dia menyatakan majelis terbuka untuk orang banyak. Kemudian diperintahkannya membawa Habib bin Zaid ke hadapannya. Habib masuk ke dalam majelis dalam keadaan terbelenggu, dan berjalan tertatih-tatih karena beratnya belenggu yang dibawanya.

Habib bin Zaid berdiri di tengah-tengah orang banyak yang penuh kedengkian, kesombongan dan kepongahan. Dia berdiri tegap, kokoh dan kuat. Musailamah bertanya kepada Habib, “Apakah kamu mengaku Muhammad itu Rasulullah?”

“Ya, benar! Aku emngakui Muhammad sesungguhnya Rasulullah!” jawab Habib bin Zaid tegas.

Musailamah terdiam karena marah. “Apakah kamu mengakui, aku Rasulullah?” Tanya Musailamah.

Habib bin Zaid menjawab dengan nada menghina dan menyakitkan hati.

“Agaknya telingaku tuli. Aku tidak pernah mendengar yang begitu,” jawab Habib bin Zaid.

Wajah Musailamah berubah. Bibirnya gemeretak karena marah. Lalu katanya kepada algojo, “Potong tubunya sepotong!”

Algojo menghampiri Habib bin Zaid, lalu dipotongnya bagian tubuh Habib, dan potongan itu menggelinding di tanah.

Musailamah bertanya kembali, “Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah?”

Jawab Habib, “Ya, aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”

Tanya Musailamah, “Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?”

Jawab Habib, “Telah kukatakan kepadamu, telingaku tuli mendengar ucapanmu itu!”

Musailamah menyuruh potong pula bagian lain tubuh Habib, dan potongannya jatuh di dekat potongan yang pertama. Orang banyak terbelalak melihat Habib yang keras hati dan tetap menantang. Musailamah terus bertanya, dan algojo terus pula memotong-motong tubuh Habib berkali-kali sesuai dengan perintah Musailamah. Walaupun begitu, Habib tetap berkata, “Aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”

Separuh tubuh Habib telah terpotong-potong dan potongannya berserakan di tanah. Separuhnya lagi bagaikan onggokan daging yang pandai bicara. Akhirnya, jiwa Habib melayang menemui Tuhannya. Kedua bibirnya senantiasa mengucapkan Nabi SAW dengan siapa dia telah berjanji setia pada malam Aqabah, yaitu Muhammad Rasulullah.

Setelah berita kematian Habib bib Zaid disampaikan orang kepada ibunya Nasibah bin Maziniyah, ia berucap, “Seperti itu pulalah aku harus membuat perhitungan dengan Musailamah Al-Kadzdzab. Dan kepada Allah jua aku berserah diri. Anakku Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah SAW sejak kecil. Sumpah itu dipenuhinyua ketika dia muda belia. Seandainya Allah memungkinkanku, akan kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya.”

Bbrp lama sesudah kematian Habib bib Zaid, tibalah hr yang dinanti-nantikan Nasibah. Khalifah Abu Bakar mengerahkan kaum muslimin memerangi Nabi-nabi palsu. Antara lain nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab. Kaum muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah. Dalam pasukan itu terdapat Nasibah Al-Maziniyah dan putranya Abdullah bin Zaid.

Ketika perang di Yamamah itu telah berkecamuk, kelihatan Nasibah membelah barisan demi barisan bagaikan seekor singa. Nasibah berteriak, “Di mana musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!”

Waktu ditemukannya, didapatinya Musailamah telah tewas tersungkur di medan pertempuran, dengan darahnya membasahi pedang kaum muslimin. Tidak lama kemudian, Nasibah pun gugur pula sebagai syahidah. Keduanya telah tewas. Namun keduanya berbeda arah. Nasibah pergi ke surga, sedangkan Musailamah menuju ke neraka. [sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]

disadur dari http://muchlisin.blogspot.com

Minggu, 12 Juni 2011

Hadits Arba’in An Nawawi (Hadits 8)

HADITS KEDELAPAN
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم    قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا  مِنِّي دِمَاءُهُمْ وَأَمْوَالُـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ
[رواه البخاري ومسلم ]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث  :
Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta  mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah Subhanahu wata’ala.    
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Catatan :
Hadits ini secara praktis dialami zaman kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq, sejumlah rakyatnya ada yang kembali kafir. Maka Abu Bakar bertekad memerangi mereka termasuk di antaranya mereka yang menolak membayar zakat. Maka Umar bin Khottob menegurnya seraya berkata : “ Bagaimana kamu akan memerangi mereka yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah sedangkan Rasulullah telah bersabda : Aku diperintahkan…..(seperti hadits diatas)” . Maka berkatalah Abu Bakar : “Sesungguhnya zakat adalah haknya harta”, hingga akhirnya Umar menerima dan ikut bersamanya memerangi mereka.
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1.     Maklumat peperangan kepada mereka yang musyrik hingga mereka selamat.
2.     Diperbolehkannya membunuh orang yang mengingkari shalat dan memerangi mereka yang menolak membayar zakat.
3.     Tidak diperbolehkan berlaku sewenang-wenang terhadap harta dan darah kaum muslimin.
4.     Diperbolehkannya hukuman  mati bagi setiap muslim jika dia melakukan perbuatan yang menuntut dijatuhkannya hukuman seperti itu seperti : Berzina bagi orang yang sudah menikah (muhshan), membunuh orang lain dengan sengaja dan meninggalkan agamanya dan jamaahnya .
5.     Dalam hadits ini terdapat jawaban bagi kalangan murji’ah yang mengira bahwa iman tidak membutuhkan amal perbuatan.
6.     Tidak mengkafirkan pelaku bid’ah yang menyatakan keesaan Allah dan menjalankan syari’atnya.
7.     Didalamnya terdapat dalil bahwa diterimanya amal yang zhahir dan menghukumi berdasarkan sesuatu yang zhahir sementara yang tersembunyi dilimpahkan kepada Allah.

Disadur dari http://haditsarbain.wordpress.com

Senin, 06 Juni 2011

Kisah Shahabat (Abu Thalhah Al Anshari r.a)

Adakah wanita yang tidak tertarik pada harta lalu memilih mahar lain yang lebih mulia? Pada Seri Sirah Sahabat ke-10 ini, kita akan berkenalan dengan sahabat nabi yang memenuhi mahar itu kemudian ia menjadi pahlawan Islam yang sangat tangguh. Dialah Abu Thalhah Al Anshari. Selamat membaca sirah sahabat yang satu ini.
 
Zaid bin Sahal An-Najjary, alias Abu Thalhah tahu, perempuan bernama Rumaisha’ binti Milhan An-Najjariyah, alias Ummu Sulaim, hidup menjanda sejak suaminya meninggal. Abu Thalhah sangat gembira mengetahui Ummu Sulaim merupakan perempuan baik-baik, cerdas, dan memiliki sifat-sifat perempuan yang sempurna.

Abu Thalhah bertekad hendak melamar Ummu Sulaim segera, sebelum laki-laki lain mendahuluinya. Karena Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain mendahuluinya. Karena Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain yang menginginkan Ummu Sulaim menjadi istrinya. Namun begitu, Abu Thalhah percaya, tidak seorang pun laki-laki lain yang berkenan di hati Ummu Sulaim selain Abu Thalhah sendiri. Abu Thalhah laki-laki sempurna, menduduki status sosial yang tinggi, dan kaya raya. Di samping itu, dia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan di kalangan Bani Najjar, dan pemanah jitu dari Yatsrib yang harus diperhitungkan.

Abu Thalhah pergi ke rumah Ummu Sulaim. Dalam perjalanan dia ingat, Ummu Sulaim pernah mendengar dakwah seorang dai yang datang dari Makkah, Mushab bin Umair. Lalu Ummu Sulaim iman dengan Muhammad dan menganut agama Islam.

Tetapi setelah berpikir demikian, dia berkata kepada dirinya, “Hal itu tidak menjadi halangan. Bukankah suaminya yang meninggal menganut agama nenek moyangnya? Bahkan suaminya itu menentang Muhammad dan dakwahnya.”

Abu Thalhah tiba di rumah Ummu Sulaim. Dia minta izin masuk, maka diizinkan oleh Ummu Sulaim. Dia minta izin masuk, maka diizinkan oleh Ummu Sulaim. Putra Ummu Sulaim, Anas, hadir dalam pertemuan mereka itu. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim menjadi istrinya. Ternyata Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah.

Kata Ummu Sulaim, “Sesungguhnya laki-laki seperti Anda, hai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan kawin dengan Anda, karena Anda kafir.”

Abu Thalhah mengira, Ummu Sulaim hanya sekedar mencari-cari alasan. Mungkin di hati Ummu Sulaim telah berkenan laki-laki lain yang lebih kaya dan lebih mulia daripadanya.

Kata Abu Thalhah, “Demi Allah! Apakah sesungguhnya yang menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?”

Jawab Ummu Sulaim, “Tidak ada selain itu!”

Tanya Abu Thalhah, “Apakah yang kuning atau yang putih…? Emas atau perak?”

Ummu Sulaim balik bertanya, “Emas atau perak..?”

“Ya, emas atau perak?” jawab Abu Thalhah menegaskan.

Kata Ummu Sulaim, “Kusaksikan kepada Anda, hai Abu thalhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika engkau Islam, aku rela Anda menjadi suamiku tanpa emas dan perak; cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku.”

Mendengar ucapan Ummu Sulaim tersebut, Abu Thalhah teringat akan patung sesembahannya yang terbuat dari kayu bagus dan mahal. Patung itu khusus dibuatnya untuk pribadinya, seperti kebiasaan bangsawan kaumnya, Bani Najjar.

Ummu Sulaim telah bertekad hendak menempa besi itu selagi masih panas (mengislamkan Abu Thalhah). Sementara Abu Thalhah terbengong-bengong mengingat berhala sembahannya, Ummu Sulaim melanjutkan bicaranya.

“Tidak tahukah Anda, hai Abu Thalhah, patung yang Anda sembah itu terbuat dari kayu yang tumbuh di bumi?” Tanya Ummu Sulaim.

“Ya, betul!” jawab Abu Thalhah.

“Apakah Anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi Tuhan, sementara potongannya yang lain Anda jadikan kayu api untuk memasak…? Jika Anda masuk Islam, hai Abu Thalhah, aku rela engkau menjadi suamiku. Aku tidak akan meminta mahar darimu selain itu,” kata Ummu Sulaim.

“Siapa yang harus mengislamkanku?” tanya Abu Thalhah.

“Aku bisa,” jawab Ummu Sulaim.

“Bagaimana caranya?” tanya Abu Thalhah.

“Tidak sulit. Ucapkan saja kalimat syahadat. Akui tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Sesudah itu pulang ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang!” kata Ummu Sulaim menjelaskan.

Abu Thalhah tampak gembira. Lalu dia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Sesudah itu Abu Thalhah nikah dengan Ummu Sulaim. Mendengar kabar Abu Thalhah kawin dengan Ummu Sulaim dengan maharnya Islam, maka kaum muslimin berkata: Belum pernah kami mendengar mahar kawin yang lebih mahal dari pada mahar Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam.

Sejak hari itu Abu Thalhah berada di bawah naungan bendera Islam. Segala daya yang ada padanya dikorbankannya untuk berkhidmat kepada Islam.

Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim termasuk kelompok tujuh puluh yang bersumpah setia (baiat) dengan Rasulullah di Aqabah. Abu Thalhah ditunjuk Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari dua belas regu yang dibentuk malam itu atas perintah Rasulullah untuk mengislamkan Yatsrib.

Dia ikut berperang bersama-sama Rasulullah SAW dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau. Dalam perang-perang itu, tidak urung pula Abu Thalhah mendapat cobaan-cobaan yang mulia. Tetapi cobaan yang paling besar diderita Abu Thalhah ialah ketika dia berperang bersama-sama rasulullah dalam perang Uhud. Dengarkanlah kisahnya.

Abu Thalhah mencintai Rasulullah sepenuh hati, sehingga perasaan cinta itu mengalir ke segenap pembuluh darahnya. Dia tidak pernah merasa jemu melihat wajah yang mulia itu, dan tak pernah merasa bosan mendengar hadits-hadits beliau yang selalu terasa manis baginya. Apabila Rasulullah berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, “Inilah diriku, kujadikan tebusan bagi diri Anda dan wajahku pengganti wajah Anda.”

Ketika terjadi perang Uhud, barisan kaum Muslimin terpecah-belah. Mereka lari kucar-kacir dari samping. Rasulullah SAW oleh karenanya kaum musyrikin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat beliau. Musuh berhasil mencederai beliau, sehingga darah mengalir membasahi mukanya. Lalu kaum musyrikin menyiarkan isu Rasulullah telah tewas.

Mendengar teriakan kaum musyrikin itu, kaum muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-poranda memberikan punggung mereka kepada musuh-musuh Allah. Hanya beberapa orang saja tentara muslimin yang tinggal mengawal dan melindungi Rasulullah. Diantara mereka ialah Abu Thalhah yang berdiri paling depan.

Abu Thalhah berada di hadapan Rasulullah bagaikan sebuah bukit berdiri dengan kokohnya melindungi beliau. Rasulullah berdiri di belakangnya, terlindung dari panah dan lembing musuh oleh tubuh Abu Thalhah. Abu Thalhah menarik tali panahnya, kemudian melepaskan anak panah tepat mengenai sasaran tanpa pernah gagal. Dia memanah musuh satu demi satu. Tiba-tiba Rasulullah mendongakkan kepala melihat siapa sasaran panah Abu Thalhah.

Abu Thalhah mundur menghampiri beliau, karena kuatir terkena panah musuh. “Demi Allah! Janganlah Rasulullah mendongakkan kepala melihat mereka, nanti terkena panah mereka. Biarkan leher dan dadaku sejajar dengan leher dan dada Rasulullah. Jadikanlah aku menjadi perisai Anda,” ujarnya mantap.

Seorang prajurit muslim tiba-tiba lari ke dekat Rasulullah sambil membawa sekantong anak panah. Rasulullah memanggil prajurit itu. kata beliau, “Berikan anak panahmu kepada Abu Thalhah. Jangan dibawa lari!” Abu Thalhah senantiasamelindungi Rasulullah SAW, sehingga tiga batang busur panah patah olehnya, dan sejumlah prajurit musyrikin tewas dipanahnya.

Allah menyelamatkan dan memelihara Nabi-Nya yang selalu berada di bawah pengawasan-Nya sampai pertempuran usai.

Abu Thalhah sangat pemurah dengan nyawanya berperang fi sabilillah, namun lebih pemurah lagi mengorbankan hartanya untuk agama Allah. Abu Thalhah mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yang amat luas. Tidak ada kebun di Yatsrib seluas dan sebagus kebun Abu Thalhah. Pohon-pohonnya rimbun, buah-buahannya subur, dan airnya manis.

Pada suatu hari ketika Abu Thalhah shalat di bawah naungan sebatang pohon nan rindang, pikirannya terganggu oleh siulan burung berwarna hijau, berparuh merah, dan kedua kakinya indah berwarna. Burung itu melompat dari dahan ke dahan dengan suka citanya, bersiul-siul dan menari-nari. Abu Thalhah kagum melihat burung itu. dia membaca tasbih, tetapi pikirannya tak lepas dari burung itu.

Ketika menyadari bahwa dia sedang shalat, dia lupa sudah berapa rakaat dia shalat. Dua atau tiga rakaatkah, dia tidak ingat. Selesai shalat dia pergi menemui Rasulullah dan menceritakan kepada beliau pristiwa yang baru dialaminya dalam shalat. Diceritakannya juga kepada beliau pohon-pohon nan rindang dan burung yang bersiul sambil menari-nari ketika dia sedang shalat.

Kemudian katanya, “Saksikanlah, wahai rasulullah! Kebun itu aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pergunakanlah sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.”

Abu Thalhah sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan dia meningal ketika sedang berpuasa dan berperang fi sabilillah. Lebih kruang tiga puluh tahun sesudah Rasulullah wafat, dia senantiasa puasa setiap hari, selain hari raya. Umurnya mencapai lanjut. Tetapi ketuaan tidak menghalanginnya untuk jihad fi sabilillah dan untuk melakukan perjalanan jauh demi menegakkan kalimat Allah.

Di zaman khalifah Utsman bin Affan, kaum msulimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam peperangan itu bersama-sama dengan tentara muslimin.

Kata anak-anaknya, “Wahai bapak kami! Bapak sudah tua. Bapak sudah turut berperang bersama-sama dengan Rasulullah, bersama dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Kini Bapak harus beristirahat. Biaarlah kami berperang untuk Bapak.”

Jawab Abu Thalhah, “Bukankah Allah SWT telah berfirman: “Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu menyadari.” (QS. At-Taubah : 41). Firman Allah itu memerintahkan kita semuanya baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang.”

Abu Thalhah menolak permintaan anak-anaknya untuk tinggal di rumah, dan bersikeras untuk ikut berperang.

Ketika Abu Thalhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal bersama-sama dengan tentara meninggal di tengah lautan, dia jatuh sakit, lalu meninggal di kapal. Kaum muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat memakamkan jenazah Abu Thalhah. Tetapi enam hari setelah wafatnya, barulah mereka bertemu dengan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal, tanpa berubah sedikit jua pun. Bahkan dia seperti layaknya orang tidur nyenyak saja. Di aman beliau dimakamkan?
Di tengah laut luas
Jauh famili dan kampung halaman
Jauh handai beserta tolan.
Abu Thalhah dimakamkan , biarlah jauh dari mereka, asalkan dekat kepada Allah, ia tak akan celaka. [sumber : Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]

Disadur dari http://muchlisin.blogspot.com

Minggu, 05 Juni 2011

Hadits Arba’in An Nawawi (Hadits 7)

HADITS KETUJUH

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْم الدَّارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ   وَسَلَّمَ قَالَ : الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ . قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ .
[رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Ruqoyah Tamim Ad Daari radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Agama adalah nasehat, kami berkata : Kepada siapa ?  beliau bersabda : Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpan kaum muslimin dan rakyatnya.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Pelajaran :
1.     Agama Islam berdiri tegak diatas upaya saling menasihati, maka harus selalu saling menasihati diantara masing-masing individu muslim.
2.     Nasihat wajib dilakukan sesuai kemampuannya.

Disadur dari http://haditsarbain.wordpress.com