Jumat, 07 Oktober 2011

Safar sesuai Al-qur’an dan As-Sunnah

Asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi

Di tengah-tengah kesibukan Anda menyiapkan tas travel dan koper dengan segenap perbekalan dan perlengkapan, pernahkah Anda mencoba menyisihkan sedikit waktu untuk merenung sejenak ; Apa niat dan tujuan kepergian (safar) Anda? Dan tahukah anda kapankah anda disebut seorang musafir? Dan Bagaimana adab – adab syariat yang mesti Anda perhatikan agar safar menjadi safar yang penuh berkah?
Jika niat kepergian Anda adalah untuk sebuah kebaikan, maka kabar gembira untuk Anda dengan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam , artinya: ” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Bila hamba-Ku bertekad melakukan suatu amal kebajikan lalu dia tidak mengamalkannya, Aku tulis baginya satu kebaikan. Bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan, hingga 700 kali lipat. Dan bila dia bertekad melakukan suatu keburukan lalu dia tidak mengamalkannya, tidak Aku tulis (keburukan) atasnya. Bila dia melakukannya, Aku tulis baginya satu keburukan’ (HR. Bukhari).

Namun, jika yang Anda niatkan bukan kebaikan maka hendaknya Anda berhati-hati dan waspada, karena ketahuilah, kepergian (safar) Anda adalah tercela dan dilarang. Dan perlu diketahui niat tempatnya dihati, tidak perlu dilafazh-kan. Tak cukup dengan niat untuk sebuah kebaikan, jika kepergian (safar) Anda diwarnai dengan adab – adab syar’i, maka Insya Allah kepergian (safar) Anda menjadi safar yang berberkah. Namun jika tidak, Anda telah meninggalkan berbagai keutamaan yang telah tersedia di hadapan Anda. Maka, cobalah untuk menyimak risalah singkat ini.

A. Kapan kita dikatakan seorang musafir?
Dari banyak pendapat yang ada, -insya Allåh- pendapat yang paling råjih, adalah tanpa adanya jarak perjalanan yang khusus, sesuai dengan kebiasaan masyarakat, jika kepergiannya tersebut menurut ‘urf (kebiasaan) adalah suatu safar, maka ia terhitung musafir, jika tidak, maka tidak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:
“Dalil yang lebih tepat dan kuat ialah pendapat ulama yang membolehkan qasar shalat dan berbuka puasa ketika musafir dan tidak ada jarak perjalanan yang khusus. Inilah pendapat yang paling shahih.” (Rujuk Kitab Majmuu’ al-Fataawaa, 24/106)
Imam Abu al-Qasim al-Kharqi rahimahullah telah menyatakan dalam kitab al-Mughni:
“Aku tidak setuju dengan pendapat yang diutarakan oleh kebanyakan ulama fiqh karena pendapat mereka itu tidak ada hujjahnya (dalam menghadkan jarak musafir). Ini karena, terdapat riwayat dari kata-kata para sahabat yang saling menyanggah. Sedangkan, tidak boleh berhujjah menggunakan dalil yang saling berbeda.”
Disimpulkan dari beberapa pendapat, bahwa pendapat yang paling rojih adalah tiada had tertentu yang membataskan seseorang untuk dikategorikan sebagai musafir. Ia adalah bergantung kepada ‘uruf/kebiasaan seseorang itu sendiri iaitu dari mana dia berada (kawasan kebiasaan dia berada/menetap) dan ke mana dia keluar (ke tempat yang di luar kebiasaannya) tanpa dihadkan jaraknya.
(Disimpulkan dari perbahasan dalam buku Fiqh Dan Musafir Penerbangan, Hafiz Firdaus Abdullah, Di bawah Tajuk Mengqasar shalat Dalam Penerbangan, Terbitan Perniagaan Jahabersa, m/s. 161-204)
Penjelasan lebih lengkap mengenai permasahan perbedaan pendapat diantara para ulama ini bisa dicek pada link berikut:

B. Adab-adab safar sesuai sunnah Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam

1. Disunnahkan berpamitan lebih dulu bagi orang yang hendak pergi.
Disunnahkan bagi musafir untuk berpamitan kepada keluarga, kerabat dan saudara-saudaranya. Berpamitan sebelum menjalankan safar, terdapat sebuah sunnah yang telah terabaikan. Sangat sedikit orang yang mengamalkannya, yakni seorang musafir berpamitan dengan mengucapkan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Qaz`ah, dia berkata: Ibnu Umar berkata kepadaku: “Kemarilah, akan saya berpamitan kepada engkau sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpamitan kepadaku, yaitu beliau mengucapkan doa :

-أَسْتَوْدِعُكُمُ اللهَ الَّذِيْ لاَ تَضِيْعُ وَدَائِعُهُ

“Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya..” (HR. Ahmad 2/403, Ibnu Majah 2/943).
Berkata Imam Ibnu Abdil Barr –rahimahullah-: “Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia berpamitan kepada saudaranya, karena Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjadikan pada doa mereka berkah.”

2. Dibencinya safar sendirian
Terdapat hadits Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : “Sekiranya manusia mengetahui apa-apa yang terjadi sewaktu bersafar sendirian sebagaimana yang aku ketahui. Niscaya tidak seorangpun yang akan melakukan safar di waktu malam sendirian “. (HR. Bukhari).
Larangan tersebut bersifat umum baik di waktu malam maupun di waktu siang. Pengkhususkan malam yang disebutkan dalam hadits di atas karena keburukan-keburukan di waktu malam lebih banyak dan bahayanya lebih besar. Wallahu A`lam.
Larangan safar sendirian juga terdapat dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Yang bersafar sendirian maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar hanya berdua maka temannya adalah syaithan, dan yang bersafar bertiga maka dia yang dinamakan bersafar.” (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah).

3. Disunnahkan mengangkat pemimpin jika safarnya tiga orang atau lebih.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika tiga orang keluar untuk safar maka angkatlah salah satu di antara kalian sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud, dan berkata Al-Albani rahimahullah : “Hadits hasan shahih).
Apabila pada safar yang jumlahnya tiga orang atau lebih tersebut, maka dianjurkan untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin yang akan membimbing dan mengarahkan mereka bagi kemaslahatan mereka. Kemudian wajib atas mereka untuk mentaatinya dan mengikuti segala yang ia perintahkan selain bukan perintah untuk berbuat maksiat kepada Allah -Subhanahu wa Ta`ala-.

4. Dilarang membawa anjing dan lonceng dalam safar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membawa anjing dan lonceng dalam safar. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Malaikat tidak akan menemani safar seseorang yang ditemani anjing dan membawa lonceng/alat musik.( HR. Muslim).
Sebab dilarangnya lonceng karena itu merupakan terompet syaithan. Dalam hal ini terdapat jelas dalam riwayat Muslim dan selainnya dari hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Terompet adalah merupakan seruling syaithan.” (HR. Muslim).

5. Dilarang bagi wanita safar tanpa ada mahram. 
Syariat yang suci melarang seorang wanita safar sendirian tanpa ditemani mahram.
Bukhari dan Muslim serta selain keduanya meriwayatkan bahwa Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar dalam jarak sehari semalam tanpa didampingi mahram.” Dalam lafazh Muslim : “Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk safar dalam jarak semalam kecuali bersamanya seorang laki-laki yang merupakan mahramnya.” (HR. Bukhari).

6. Disunnahkan safar pada pagi hari Kamis.
Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai keluar untuk safar pada pagi hari Kamis.
Dari Ka`ab bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata : “Bahwa nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Kamis pada waktu Perang Tabuk dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai keluar bersafar pada hari Kamis.”. (HR.Bukhari). Pada riwayat Ahmad: “ Sangatlah jarang apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak keluar untuk suatu perjalanan kecuali beliau lakukan pada hari Kamis “.

7. Hendaklah orang yang bersafar ketika meninggalkan rumahnya berdo’a,

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ ,

bismillahi tawwakaltu ‘alallåh, laa hawla wa laa quwwata illa billaah
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah,”

اللَّهمَّ إني أعوذ بك أَن أَضِلَّ أو أُضَلَّ ، أَو أَزِلَّ أو أُزَلَّ ، أو أَجهَلَ أو يُجهَلَ عليَّ

allåhumma inni ‘a-udzubika an a-dhilla au a-dhåll, au azhilla au azill, au jahala au yujahala ‘aliyy,

“Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (syetan atau orang yang berwatak syetan), atau tergelincir dan digelincirkan (orang lain), atau dari berbuat bodoh atau dibodohi.” (Shahih, di shahihkan asy-syaikh al-albani dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Daud, HN. 5094).

8. Lalu apabila menaiki kendaraan, hendaklah berdo’a,

بِسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ،

bismillahi tawwakaltu ‘alallåh,

وَلا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

laa hawla wa laa quwwata illa billaahil a’zhiim

“Dengan nama Allah dan demi Allah, dan Allah Maha Besar, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi”

مَا شَاءَ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِين وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ

maa syaa-a kaana wa maa-lam yasya’ yakun, subhaanaalladzi sakh-khårålanaa wa maa kunna lahu muq’riniin wa inna ila råbbana mung-qålibuun

“Karena kehendak Allah sesuatu terjadi, adapun jika Allah tidak menghendaki, maka tidak akan terjadi. Maha Suci Allah yang telah menjalankan kami, dan sebelumnya kami tidak mampu, dan hanya kepada Rabb kami, kami kembali.”

اللَّهمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَالتَّقْوَى ، وَمِنَ اْلعَمَلِ مَا تَرْضَى ،

allåhumma inni nas-aluka fii safarinaa hadzaa birråwat-taq’wa wa minal ‘amali maa tardhå
“Ya Allah! sesungguhnya aku memohon kepadaMu kebaikan dan ketakwaan di dalam perjalanan kami. Begitu pula amal yang Engkau ridhai”

اللَّهمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِي سَفَرِنَا هَذَا ، وَاَطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ ،

allåhumma hawwin ‘alaynaa fii safarinaa haadzaa wa ath-wi ‘annaa bu’dah
“Ya Allah mudahkan/ ringankanlah perjalanan kami ini, dan jadikan perjalanan yang jauh menjadi dekat dari kami.”

اللَّهمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ ،

allåhumma antash-shååhibu fiis-safar, wakh-liifatu fil ahl,

“Ya Allah! Engkaulah teman di dalam perjalanan, dan Pemimpin/ Penjaga keluarga dan harta.”

اللَّهمَّ إِنيِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبََةِ الْمَنْظَرِ ، وَسُوْءِ المُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَ اْلأَهْلِ وَالْوَلَدِ

allåhumma inni a-’udzubika min wa’-tsaa-is-safar, wa kaabatil munzhår, wa suu-il munqåbi fiil maa li wal ahli wal walad

“Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari lelahnya perjalanan, dan sedihnya pemandangan, serta kesia-siaan tempat kembali, dan buruknya pemandangan pada harta, keluarga, dan anak.” (HR. Abu Daud, Shahih).

9. Shålat diatas kendaraanya ketika dalam perjalanan
Termasuk sunnah yang telah banyak ditinggalkan adalah shalat sunnah bagi musafir di atas kendaraannya.
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di atas tunggangan beliau ketika dalam safar dimana beliau mengarahkan tunggangannya ke arah kiblat dan shalat dengan memberi isyarat. Beliau mengerjakannya hanya pada shalat al-lail tidak pada shalat fardhu dan beliau mengerjakan shalat witir di atas kendaraan beliau.” (HR. Al-Bukhari).

10. Doa ketika singgah di suatu tempat.
Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia berdoa :

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“ Aku berlindung kepada dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk yang Engkau ciptakan.” (maka) Tidak akan ada sesuatupun yang dapat memudharatkan sampai ia berlalu dari tempat tersebut.” (HR. Muslim).

11. Disunnahkan untuk tinggal sementara dan makan secara bersama di satu tempat.
Apabila suatu kaum melakukan perjalanan bersama-sama disunnahkan bagi mereka berkumpul pada tempat di mana mereka tiba (singgah) dan bermalam. Demikian juga mereka bersama-sama makan agar mereka mendapatkan berkah.
Diriwayatkan oleh Abu Tsa`labah Al-Khusyani -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata : “Ketika para sahabat singgah di suatu tempat, para sahabat tersebut berpencar di lembah dan wadi , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika kalian berpencar seperti ini ada yang di bukit ada yang di lembah, sungguh yang demikian ini adalah termasuk dari godaan syaithan. Setelah itu apabila mereka turun singgah d isuatu tempat mereka tidak lagi berpencar melainkan mereka saling berkumpul sebagian dengan sebagian lainnyahingga apabila dihamparkan sebuah pakaian kepada mereka niscaya akan mencakup mereka semua” (HR. Abu Daud, dan dishahihkan oleh Al-Albani –Rahimahullah).
Berkumpul bersama dalam makan, akan mendatangkan berkah dan juga dan akan ditambahkan rezeki bagi mereka. Dari Husyai bin Harb dari Bapaknya dari Kakeknya, beliau berkata: Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Rasulullah, kami telah makan namun kami tidak bisa kenyang.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin karena kalian makan dengan terpisah-pisah? ”Para sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Berkumpullah kalian dalam makan di satu tempat dan sebutlah nama Allah, niscaya Allah akan memberikan barakah pada makanan tersebut bagi kalian.” (HR. Abu Daud, dan dihasankan oleh Al-Albani Rahimahullah).

12. Hendaklah orang yang bersafar bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) ketika melewati tempat yang tinggi.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Bahwasanya seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku hendak bersafar, maka berilah aku nasehat” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah Ta’ala, dan mengucapkan takbir (bertakbir) ketika melewati tempat yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan).

13. Apabila takut terhadap gangguan manusia, maka hendaklah ia berdoa seperti yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

اللَّهُمَّ إِنَّا نَجْعَلُكَ فِي نُحُورِهِمْ، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِهِمْ

Artinya, “Ya Allah, Sesungguhnya kami menjadikan Engkau sebagai Penolong dalam menghadapi mereka, dan sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari kejahatan-kejahatan mereka” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani),

14. Hendaklah dia berdoa di dalam safarnya dan memohon kepada Allah Ta’ala kebaikan dunia dan akhirat.

Karena safar merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terdapat tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi padanya: do’a orang yang dizhalimi, do’a orang yang bersafar, dan do’a orang tua kepada anaknya.” (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan).

15. Membaca doa – doa ketika safar yang telah ma’tsur (diriwayatkan) dari Nabi shållallåhu ‘alaihi wa sallam

Di antara doa – doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bepergian (safar) yakni :

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ،

“Allah Maha Besar (3x).

سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ

Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat).

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِيْ سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى

Ya Allah! Sesungguh-nya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam bepergian ini, kami mohon perbuatan yang meridhakanMu.

اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ

Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini, dan dekatkan jaraknya bagi kami.

اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ

Ya Allah! Engkau-lah teman dalam bepergian dan yang mengurusi keluarga(ku).

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيْهِنَّ: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ

Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”
Apabila kembali, doa di atas dibaca, dan ditambah: “Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Tuhan kami.” (HR. Muslim 2/998.).

16. Disunnah-kan ketika safar untuk meng-QÅSAR-kan (memendekkan) shålatnya.
Dari banyak pendapat mengenai shålat seorang musafir, maka pendapat yang paling råjih -Insya Allåh- adalah meng-qåsar-kan shålat, tanpa men-jama’-nya (menggabungkan). Wallåhu ta’ala a’lam bish shåwwab.
Penjelasan lebih lengkap mengenai permasahan perbedaan pendapat diantara para ulama ini bisa dicek di link berikut:

- Mengqasarkan shalat Adalah Sedekah Allah

Allah (سبحانه وتعالى) berfirman di dalam surah an-Nisa’ ayat 101 (maksudnya):
“Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-Qasar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.”

Dalam hal ini, terdapat suatu riwayat dari Abu Ya’la bin Umayyah, dia menceritakan:
“Aku pernah berkata kepada ‘Umar bin Khaththab: (Allah berfirman:) “maka tidaklah mengapa kamu meng-Qasar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (Namun sekarang) masyarakat sekarang sudah berada dalam keadaan aman. ‘Umar berkata: “Aku juga pernah merasa hairan sebagaimana engkau merasa hairan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) mengenai hal tersebut. Beliau (ﷺ) bersabda: “Ia suatu sedekah yang telah disedekahkan oleh allah kepada kamu. Oleh itu, terimalah sedekah Allah.”
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 686)

- Hadits-Hadits Berkenaan Tuntutan Meng-Qasarkan shalat Di Dalam Perjalanan:

Ibnu ‘Umar ( رضي الله عنه‎ ) berkata:
“Aku pernah menemani Rasulullah (ﷺ) dalam perjalanannya dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat (bagi setiap shalat). Demikian juga dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman radhiyallåhu ‘anhum. (Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 689)

Dari ‘Aisyah ( رضي الله عنه‎ ), dia menyatakan: “Ketika shalat pertama kali diwajibkan, Allah mewajibkan dua rakaat-dua rakaat, sama ada ketika sedang tidak dalam perjalanan maupun ketika dalam perjalanan. (Selepas hijrah Nabi (ﷺ)) shalat ketika safar ditetapkan/dibiarkan (dua rakaat), dan shalat ketika tidak safar (dalam perjalanan) ditambah (jumlah rakaatnya). (Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 1570)
Imam Ahmad rahimahullah di dalam al-Musnadnya (6/241) menambahkan:
“Kecuali shalat Maghrib dan subuh”.
(Rujukan: Catatan kaki no. 71, m/s. 550, Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i)

Dari Ibnu ‘Abbas ( رضي الله عنه‎ ), dia menyatakan:
“Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi Kalian (ﷺ) ketika tidak dalam perjalanan (musafir) adalah empat rakaat dan ketika dalam perjalanan dua rakaat, serta ketika menghadapi rasa takut adalah satu rakaat.” (hadits Riwayat Muslim, Kitab orang-orang yang musafir, no. 687)

Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam. Ada musafir saa-ir yaitu yang berada dalam perjalanan dan ada musafir naazil yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama.

Menjama’ shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ boleh dilakukan oleh musafir saa-ir maupun musafir naazil. Namun yang paling afdhol (paling utama) untuk musafir naazil adalah tidak menjamak shalat. Musafir naazil diperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masing waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak. Adapun untuk musafir saa-ir, yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, boleh dengan jamak taqdim (menggabung dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya. (penjelasan diatas adalah penjelasan asy-syaikh al-utsaimin råhimahullåh, lihat http://islamqa.com, dialih bahasakan oleh al-ustadz muhammad abduh tuasikal)

17. Tetap disyari’atkan untuk shålat berjama’ah di mesjid apabila mendengar adzan, dan dianjurkan untuk datang ke mesjid untuk shålat berjama’ah apabila tidak mendengarnya (bagi pria).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ( رضي الله عنه‎ ), bahwa seorang LAKI-LAKI BUTA berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya keringanan untuk shalat di rumahku?” Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya,“Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?” ia menjawab, “Ya”, beliau berkata lagi, “Kalau begitu, penuhilah” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Masajid 653]

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah mengomentari hadits diatas:
“Itu orang buta yang tidak ada penuntunnya, namun demikian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tetap memerintahkannya untuk shalat di masjid. Maka orang yang sehat dan dapat melihat tentu lebih wajib lagi. Maka yang wajib atas seorang Muslim adalah bersegera melaksanakan shalat pada waktunya dengan berjama’ah. Tapi jika tempat tinggalnya jauh dari masjid sehingga tidak mendengar adzan, maka tidak mengapa melaksanakannya di rumahnya. Kendati demikian, jika ia mau sedikit bersusah payah dan bersabar, lalu shalat berjama’ah di masjid, maka itu lebih baik dan lebih utama baginya.” [Syaikh Ibnu Baz, Fatawa ’Ajilah Limansubi Ash-Shihhah, hal.41-42]

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa mendengar seruan adzan tapi tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur”. [Hadits Riwayat Ibnu Majah 793, Ad-Daru Quthni 1/421,422, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/246]
Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Apa yang dimaksud dengan udzur tersebut?’ ia menjawab, ’Rasa takut (tidak aman) dan sakit”.

Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk sujud. Allah berfirman (yanga artinya): “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:42-43).

Yang dimaksud dengan “seruan untuk sujud” adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini: “Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya” (Ruhul Ma’ani 29/36).

Syaikh Al-Albany Råhimahullåh ditanya:

Manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, apakah shalat di rumah yang ia singgahi ataukah ia tetap datang ke masjid dan shalat bersama masyarakat setempat?

Jawaban

Pembuat syariat Yang Maha Bijaksana telah menggugurkan (kewajiban) bagi seorang musafir untuk mendirkan shalat jum’at, begitu pula dengan kewajiban mendirikan shalat berjamaah (di masjid). Akan tetapi shalat jamaah yang digugurkan kewajibannya adalah shalat jamaah bersama masyarakat setempat; sedangkan untuk sesama musafir mereka tetap wajib mendirikan shalat berjamaah.

Adapun tentang yang mana dari pilihan itu yang lebih afdhal,maka saya katakan bahwa yang lebih afdhal adalah yang lebih bermanfaat dan lebih mudah bagi mereka. Dan hukum ini adalah seperti hukum shalatnya wanita di rumah, yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah karena sabda Nabi shalallahu’alaihi wa salllam
“Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”

Akan tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa para wanita di zaman Nabi pun bolak-balik ke masjid, dan mereka shalat di belakang Nabi shalallahu’alaihi wa sallam hingga berkata sayyidah Aisyah radhiallahu’anha“
“Dahulu, para wanita muslimat sering mengerjakan shalat Shubuh di belakang Nabi, kemudian setelah itu mereka pulang dalam kegelapan (Shubuh), mereka menutupkan pakaian yang mereka kenakan ke tubuh mereka, dan mereka tidak dikenal kerena pekatnya gelap (awal Shubuh)”

Wanita-wanita shahabiyah pada zaman nabi tetap pergi ke masjid untuk mendirikan shalat walaupun shalat (di rumah) itu lebih baik dari mereka. Dan hukum ini tetap berlaku.
Dari sini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa kadang-kadang di dalam kekurangan itu muncul keutamaan. Dan di dalam keutamaan itu kadang-kadang muncul kekurangan. Kemudian beliau membawakan beberapa contoh di antaranya adalah shalatnya wanita di masjid.

Maka yang lebih afdhal bagi wanita adalah shalat di rumah, bahkan lebih afdhal lagi di dalam kamarnya (khusus). Semakin jauh dari pandangan, semakin afdhal baginya.
Meskipun demikian para wanita di zaman Nabi banyak yang shalat di masjid, karena mereka butuh kepada ilmu, dan ilmu tersebut tidak mungkin mereka peroleh jika mereka shalat di rumah terus. Maka dalam keadaan seperti ini shalatnya wanita di masjid lebih utama daripada shalatnya di rumah karena akan mendapat manfaat yang besar berupa ilmu dan tarbiyah Islam yang tidak mereka dapatkan jika mereka shalat di rumah. Dan keluarnya wanita seharusnya disertai dengan menjaga adab-adab Islam, baik ketika ia berangkat, ketika kembali ke rumah, dan ketika berada di perjalanan.

Berdasarkan hal ini, maka saya katakan: Jika seorang musafir mendapatkan manfaat dan faidah jika shalat di masjid, maka lebih utama baginya shalat di masjid, jika tidak maka lebih mudah dan lebih utama baginya shalat di rumah. (Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah)

18. Apabila MENG-IMAMI shålat wajib 4 raka’at (zhuhur, ashr, ‘isya) (baik makmumnya mukim atau safar) tetap meng-qåsar-kan shålat.

Dan bila ada makmum yang mukim, maka tetap harus menyempurnakan shålatnya.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:
“Para ulama telah sepakat bahwa jika orang yang bermukim/bermastautin menjadi makmum kepada imam yang bermusafir lalu musafir itu mengucapkan salam (setelah dua rakaat shalatnya secara Qasar – pen.), maka orang yang bermukim harus menyempurnakan shalatnya (kepada empat rakaat).”
(Rujukan: al-Mughni, 3/146. Lihat: Nailul Authaar, asy-Syaukani, 2/403)

Jika seorang musafir mengimami beberapa orang yang bermukim/bermastautin, lalu dia mengerjakan shalat itu secara lengkap/tamam/sempurna, maka shalat mereka itu sempurna dan sah, hanya saja bertentangan dengan yang afdhal (sunnahnya).
(Majmuu’ Fataawaa Ibni Baaz, 12/260).
(Dinukil daripada: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 270-271)

19. Apabila DI-IMAMI shålat wajib 4 raka’at (zhuhur, ashr, ‘isya) oleh mukim, tetap menyempurnakan shålatnya
Ibnu ‘Abbas rahimahullah (ketika bermusafir), dia akan shalat empat rakaat jika shalat bersama imam (yang mukim) dan dua rakaat (Qasar) jika shalat sendirian. (Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 17 (688))

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan:
“Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa jika seorang musafir melakukan takbiratul ihram di belakang orang yang bermukim/bermastautin sebelum salamnya, maka dia harus mengerjakan shalat separti orang mukim, iaitu mengerjakan secara lengkap (empat rakaat)”.
(at-Tamhiid, 16/311-312)

“Mereka yang bermusafir ketika menjadi makmum kepada imam yang mukim harus mengerjakan shalat separti yang dilakukan imamnya (shalat sempurna/empat rakaat).
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 271)

20. Tidak ada shålat sunnah kecuali shålat-shålat sunnah muthlaqåh
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Kegigihan dan kesungguhan Rasulullah (ﷺ) dalam memelihara shalat sunnah sebelum Subuh lebih besar daripada shalat sunnah yang lainnya sehingga beliau tidak pernah meninggalkannya. Begitu pula shalat witr, sama ada ketika dalam perjalanan mau pun ketika sedang di rumah… Tidak pernah dinukil bahwa Rasulullah (ﷺ) mengerjakan shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah sebelum subuh dan shalat witr dalam perjalanannya.”
(Rujuk: Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, 1/315)
Berdasarkan fatwa Imam Ibnul Qayyim, ini menunjukkan bahwa dipahami hanya shalat sunnah rawatib subuh dan shalat witr yang dituntut. Dan tiada sandaran bagi kesunnahan melakukan shalat sunnah rawatib bagi shalat-shalat yang lain melainkan sebelum shalat subuh.

Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Para ulama telah sepakat untuk menetapkan sunnah (adanya) terhadap shalat-shalat sunnah mutlak (shalat-shalat sunnah yang memiliki sebab untuk ia dilakukan) dalam perjalanan.”
(Syarhun Nawawi ‘alaa shahih Muslim, 5/205). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 269)
Keterangan: Shalat sunnah mutlak yang dimaksudkan adalah separti shålat witir, shalat sunnah Thawaf, shalat Tahiyatul Masjid, shalat sunnah wudhu’, shålat istikhårah, dan seumpamanya.

21. Tidak ada shålat jum’at bagi musafir.
Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka’at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum’at [Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/20] dengan sanad yang shahih]
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata “Tidak ada shalat Jum’at bagi Musafir”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah [1/442], Ibnul Munzdir [4/19] dan Al-baihaqi dalam Al-Kubra [3/184] dengan sanad yang shahih]
[Disalin dari buku Hadyu Nabi Fi Yaumil Jum'ati Wal Yaltihaa Min Shahihil Sunnati, Edisi Indonesia Petunjuk Nabi Tentang Amalan Pada Malam dan Siang Hari Jum'at, Penulis Umar Abdul Mun'im Salim, Penerjemah Abu Okasha, Penerbit Pustaka Azzam]

22. Disunnahkan untuk tidak puasa bagi yang kepayahan, dan dianjurkan puasa bagi yang mampu
Pertanyaan:

Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya puasa musafir padahal ia merasa berat ?
Jawaban:

Apabila puasa dirasa memberatkan dan membebaninya maka itu menjadi makruh hukumnya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang pingsan, orang-orang disekitar beliau berdesak-desakan, beliau bertanya : “Kenapa orang ini?”. Mereka menjawab. “Dia berpusa”. Beliau bersabda : “Puasa di waktu bepergian bukanlah termasuk kebaikan”
[Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karena sangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)]

Adapun bila terasa berat atasnya puasa dengan kepayahan yang sangat maka wajib atasnya berbuka, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala orang banyak mengadukan kepada beliau bahwa mereka merasa berat berpuasa (tatkala bepergian, -pent) Nabi menyuruh mereka berbuka, lalu disampaikan lagi kepada beliau, “Sesungguhnya sebagian orang tetap berpuasa”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mereka itu ahli maksiat! Mereka itu pelaku maksiat!”
[Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di bulan Ramadhan bagi musafir selain tujuan maksiat (1114)]

Sedangkan bagi orang yang tidak mengalami kepayahan untuk berpuasa, yang paling afdhal adalah tetap berpuasa meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala beliau tetap berpuasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu, “Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan di panas terik yang menyengat, tiada seorangpun dari kami yang berpuasa kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah”
[Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karena sangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)]

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah, Sumber: www.almanhaj.or.id]

23. Disunnahkan bagi musafir untuk segera kembali ke keluarganya setelah selesai urusannya dan tanpa menunda-nunda.
Disunnahkan bagi seorang musafir apabila dia telah mencapai maksud dari perjalanannya tersebut agar segera kembali kepada keluarga. Tidak berdiam melebihi kebutuhannya. Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Safar itu adalah bagian dari adzab, karena dengan safar ia terhalang untuk makan, minum, dan tidur. Maka jika telah selesai keperluannya maka hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari).
Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan :
“Hadits ini menunjukkan makruhnya berpisah dari keluarganya lebih dari keperluannya. Dan disunnahkan untuk segera kembali kepada keluarganya apalagi ditakutkan kalau-kalau isterinya terabaikan di saat kepergiannya. Diamnya berkumpul bersama keluarga akan memberikan kesejukan yang dapat membantu perbaikan baik agama atau duniawiyah. Lagi pula berkumpul bersama keluarga akan mendatangkan rasa kebersamaan dan kekuatan dalam pelaksaan ibadah”
(Fathul Bari (3/730)).

24. Makruh bagi seorang musafir pulang menjumpai keluarganya di malam hari tanpa menginformasikan sebelumnya.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk mengetuk pintu rumah istrinya pada malam hari.” Pada riwayat Muslim: “Jika salah seorang dari kalian datang dari suatu perjalanan, janganlah mengetuk pintu rumah istrinya hingga istrinya tersebut telah merapikan dan menyisir rambutnya.”
Jadi sepantasnya bagi seorang musafir apabila dia kembali menjumpai istrinya untuk tidak mendatanginya di malam hari, sehingga ia tidak melihat apa yang dia benci dari penampilan istrinya yang tidak rapi.

25. Disunnahkan shalat dua rakaat bagi musafir ketika kembali ke negerinya.
Diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari suatu perjalanan maka yang pertama kali segera beliau lakukan shalat di masjid dua raka’at.
Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan : Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila beliau tiba dari suatu perjalanan pada waktu dhuha, beliau mendatangi masjid lalu mengerjakan shalat dua raka’at sebelum beliau duduk “ (HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad).

26. Jika Seorang Suami Pulang Dari Safar, Hendaklah Terlebih Dahulu Ia Menuju Masjid Untuk Mengerjakan Shalat Dua Raka’at, Lalu Pulang Ke Rumahnya Untuk Bercampur Dengan Isterinya
Hal ini adalah Sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diceritakan oleh Ka’ab bin Malik radhiyallaahu ‘anhu ketika ia tidak ikut perang Tabuk dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3088) dan Muslim (no. 716 (74)).
Kemudian hendaklah suami mengutus seseorang untuk memberi kabar kedatangannya agar mereka dapat bersiap-siap menyambut kedatangannya. Atau dapat menggunakan telepon atau HP pada zaman sekarang ini.
Dan di malam itu hendaklah ia tidak langsung tidur sebelum memenuhi hajat biologis isterinya, jika ia mampu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jangan tergesa-gesa hingga engkau dapat datang pada waktu malam -yaitu ‘Isya’- agar ia (isterimu) sempat menyisir rambut yang kusut dan mencukur bulu kemaluannya. Selanjutnya, hendaklah engkau menggaulinya”
(Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5245, 5246, 5247), Muslim (no. 1466 (57)), Ahmad (III/298, 302, 303, 355) dan al-Baihaqi (VII/254), dari hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Dalam hadits ini, asal makna ÇóáúßóíúÓõ adalah ÇóáúÚóÞúáõ , maksudnya adalah jima’. Jadi, orang yang berakal adalah orang mencampuri isterinya. (Fat-hul Baari IX/342) Sumber: www.almanhaj.or.id)


Sumber: Minhajul Muslim, http://ibnuabbaskendari.wordpress.com
Oleh: Asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi
[dengan beberapa penambahan adab-adab yang didapatkan dari berbagai sumber]

Rabu, 05 Oktober 2011

Adab Membuang Hajat

Adab Membuang Hajat
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim)

Buang hajat merupakan rutinitas alamiah yang dilakukan oleh semua manusia. Alangkah baiknya kita mengetahui bagaimana agama memberikan bimbingan dalam masalah ini sehingga perbuatan yang bisa jadi dipandang ringan oleh banyak orang ini, dalam beberapa sisinya bisa memiliki nilai ibadah di sisi Allah l.
Membuang hajat adalah perkara yang biasa kita lakukan setiap harinya. Namun sangat disayangkan banyak di antara kita yang tidak mengetahui adab-adab yang dituntunkan di dalamnya. Padahal syariat agama kita yang sempurna telah mengajarkan permasalahan ini. Pernah kaum musyrikin berkata kepada Salman al-Farisi z, “Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampaipun perkara adab buang hajat.” Salman menjawab, “Ya, beliau mengajarkan kami adab buang hajat.” (HR. Muslim no. 262)

Doa Sebelum Buang Hajat
Perkara awal yang perlu diperhatikan dari Sunnah Rasulullah n dalam masalah ini adalah ketika seseorang akan masuk ke tempat buang hajat (WC, toilet, dan semisalnya) hendaknya ia mengucapkan doa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375)
Karena WC, toilet, dan semisalnya merupakan tempat kotor yang dihuni oleh setan maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah l agar ia tidak ditimpa oleh kejelekan makhluk tersebut. (asy-Syarhul Mumti’, 1/83)
Membaca doa ini merupakan adab yang disepakati istihbab (sunnah)-nya, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara buang hajat di tempat yang berupa bangunan ataupun di padang pasir. (Syarah Shahih Muslim, 4/71)
Sementara itu, apabila di padang pasir (tempat yang terbuka), maka doa ini dibaca tatkala hendak ditunaikannya hajat, seperti ketika seseorang menyingkap pakaiannya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Mereka juga mengatakan, kalau seseorang lupa membaca doa ini maka ia membacanya dalam hati. (Fathul Bari, 1/307)

Langkah Kaki Ketika Masuk dan Keluar WC
Telah diketahui bahwasanya Rasulullah n menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau. (HR. al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Hadits di atas menunjukkan keumuman. Namun khusus pada keadaan-keadaan tertentu dimulai dengan yang kiri, seperti apabila beliau masuk WC, keluar dari masjid, dan yang semisalnya. Demikian dinyatakan Ibnu Daqiqil ‘Ied. (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/44)
Al-Imam an-Nawawi t berkata, “Merupakan kaidah yang berkesinambungan dalam syariat di mana tangan/kaki kanan didahulukan dalam melakukan perkara yang mulia, seperti memakai pakaian, celana, dan sandal; masuk masjid, bersiwak, bercelak, menggunting kuku, mencukur kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, salam ketika selesai shalat, mencuci anggota wudhu, keluar dari WC, makan, minum, berjabat tangan, menyentuh hajar aswad, serta selainnya dari perkara yang semisal di atas. Semua itu disenangi untuk memulai dengan bagian kanan. Adapun lawan dari perkara di atas, seperti masuk WC, keluar dari masjid, istinja’, melepas pakaian, celana, sandal, dan yang semisalnya, disenangi untuk memulai dengan tangan/kaki kiri.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160, al-Majmu’, 2/95)

Menutup Diri
Abdullah bin Ja‘far z berkata, “Suatu hari Rasulullah n pernah memboncengkan aku di belakangnya. Lalu beliau membisikkan kepadaku satu pembicaraan yang aku tidak akan memberitahukannya kepada seorang pun selama-lamanya. Adalah beliau n menyenangi menjadikan tempat yang tinggi (berupa bangunan atau selainnya) dan kebun kurma sebagai tempat berlindung (menutup diri) ketika buang hajat.” (HR. Muslim no. 342)
Al-Imam asy-Syaukani t berkata, “Hadits ini menunjukkan disenanginya menutup diri ketika seseorang sedang buang hajat dengan apa saja yang dapat mencegah/menghalangi pandangan orang terhadapnya ketika itu. Dimungkinkan buang hajat beliau di kebun kurma bukan pada saat kurma itu berbuah.” (Nailul Authar, 1/117)
Beliau n apabila hendak buang hajat, tidaklah mengangkat pakaiannya sampai beliau turun untuk jongkok di atas tanah. Hal ini beliau lakukan untuk menjaga aurat. (Zadul Ma’ad, 1/44, ad-Dararil Mudhiyyah hlm. 23)

Menjauh dari Pandangan Manusia
Ibnul Mundzir t berkata, “Kabar yang pasti dari Rasulullah n bahwasanya bila ingin buang hajat beliau pergi ke tempat yang jauh dari penglihatan manusia. Namun bila sekadar buang air kecil beliau tidak menjauh dari mereka.” (al­-Ausath, 1/321)
Hal ini sebagaimana Rasulullah n pergi untuk membuang hajat hingga tersembunyi dari para sahabatnya. (HR. al-Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274 dari al-Mughirah ibnu Syu’bah z)   
Abdurrahman bin Abi Qurad z berkata, “Aku pernah keluar bersama Rasulullah n ke tempat buang hajat. Kebiasaan beliau ketika buang hajat adalah pergi menjauh dari manusia.” (HR. an-Nasa’i no. 16 dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Sahih, 1/495)
Saking menjauhnya beliau dari manusia sampai-sampai beliau pergi ke Mughammas (sebuah tempat yang jauhnya sekitar dua mil dari kota Makkah) untuk keperluan buang hajat ini. (HR. Abu Ya’la, 9/476 dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Sahih, 1/495)
Ibnul Qayyim t mengatakan, “Beliau n apabila ingin buang hajat dalam safarnya pergi hingga tersembunyi dari pandangan para sahabatnya. Terkadang beliau menjauh sampai dua mil. Beliau menutup dirinya ketika buang hajat, terkadang dengan berlindung di balik tempat tinggi, terkadang di balik kebun kurma, dan terkadang dengan pepohonan yang tumbuh di lembah.” (Zadul Ma’ad, 1/43)
Berbeda halnya ketika buang air kecil, sebagaimana dikatakan Ibnul Mundzir di atas, beliau tidak menjauh dari manusia. Bahkan Hudzaifah z mengatakan, “Aku pernah berjalan-jalan bersama Nabi n. Beliau lalu mendatangi tempat pembuangan sampah yang terletak di belakang tembok. Beliau berdiri di situ sebagaimana salah seorang dari kalian berdiri lalu beliau buang air kecil. Aku pun menyingkir dari beliau, namun beliau memberi isyarat kepadaku maka aku pun mendatanginya. Aku berdiri di belakang beliau hingga beliau selesai dari hajatnya.” (HR. al-Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Ini menunjukkan beliau tidak menjauh dari Hudzaifah ketika buang air kecil.”
Adapun sebab tidak menjauhnya Nabi n ketika buang air kecil dijelaskan oleh Al-Hafizh, “Kencing lebih ringan daripada buang air besar, karena buang air besar butuh untuk lebih membuka aurat dan bau yang ditimbulkan lebih menyengat. Sementara tujuan menjauh dari manusia adalah untuk menutup diri dari penglihatan mereka, dan ini terpenuhi dengan membentangkan pakaian serta mendekat dengan sesuatu yang dapat menutupi.” (Fathul Bari, 1/411)
Rasulullah n meminta Hudzaifah untuk mendekat kepada beliau agar Hudzaifah menutupi beliau dari pandangan manusia, karena buang air kecil merupakan keadaan yang memalukan bila terlihat oleh orang lain. (Syarah Shahih Muslim, 3/167)
Dengan demikian, dituntunkan kepada kita untuk menjauh dari manusia ketika buang air besar. Sementara ketika buang air kecil boleh dilakukan di dekat orang lain, namun harus tetap memerhatikan tertutupnya aurat agar tidak terlihat orang lain. (al-Jami’ush Sahih, 1/496)

Tidak Memasukkan ke WC Sesuatu yang Mengandung Dzikrullah
Seseorang yang buang hajat lebih utama baginya untuk tidak membawa sesuatu yang padanya tertera zikir kepada Allah l seperti Al-Qur’an dan lainnya, yang di dalamnya ada penyebutan nama Allah l. Dalam permasalahan ini, dalil yang sering dibawakan adalah hadits peletakan cincin Rasulullah n ketika akan masuk WC. Namun hadits ini lemah, ma’lul (berpenyakit) sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim t dalam Tahdzibus Sunan serta ulama ahli hadits yang lainnya.
Ketika membawakan hadits ini, al-Imam ash-Shan’ani t mengatakan dalam Subulus Salam (1/113), “Sesuatu yang di dalamnya tertera nama Allah k harus dijaga dari tempat-tempat yang jelek/kotor. Ini tidak khusus berupa cincin saja, namun meliputi seluruh benda yang dipakai yang padanya ada dzikrullah.”
Walaupun demikian sebagian ulama yang lain menganggap makruh (dibencinya) perkara ini, bahkan haram apabila yang dimasukkan itu berupa Al-Qur’an, karena termasuk penghinaan. Penulis kitab al-Furu’ mengatakan, “Dibenci untuk membawa sesuatu yang mengandung dzikrullah tanpa ada keperluan.” (al-Furu’, 1/83)
Larangan Menghadap dan Membelakangi Kiblat
Abu Ayyub al-Anshari z berkata, Rasulullah n bersabda:

إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوْهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

“Apabila kalian mendatangi tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat ketika buang air besar ataupun kencing, serta jangan pula membelakangi kiblat. Akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat1.” (HR. al-Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264)
Dari hadits di atas dipahami adanya larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat. Namun dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat perbuatan ini haram secara mutlak, baik di WC (tempat yang tertutup/berbentuk bangunan) maupun di tempat terbuka. Ada yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang merinci. Perselisihan ini terjadi karena selain hadits larangan sebagaimana tercantum di atas, didapatkan pula hadits lain yang menunjukkan kebolehannya seperti hadits Abdullah ibnu Umar c, ia berkata, “Aku pernah menaiki rumah Hafshah2 karena suatu keperluan. Ketika itu aku melihat Rasulullah n buang hajat menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka’bah.” (HR. al-Bukhari no. 148 dan Muslim no. 266)
Demikian pula hadits Jabir bin Abdillah al-Anshari c, “Sungguh beliau n melarang kami untuk membelakangi dan menghadap kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami apabila kami buang air. Kemudian aku melihat beliau kencing menghadap kiblat setahun sebelum meninggalnya.” (HR. Ahmad 3/365 dan dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Sahih, 1/493)
Dari perselisihan yang ada, yang rajih (kuat) adalah pendapat yang merinci. Bila di luar bangunan seperti di padang pasir, haram untuk menghadap atau membelakangi kiblat. Sementara di dalam bangunan tidaklah diharamkan. Ini adalah pendapat al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan asy-Sya’bi, dan ini merupakan pendapat jumhur ahli ilmu. (Syarah Shahih Muslim 3/154, Syarah Sunan an-Nasa’i lis Suyuthi 1/26)
Namun sepantasnya bagi seseorang untuk menghindari arah kiblat ketika buang hajat di dalam bangunan (WC dan semisalnya), dalam rangka berhati-hati dari hadits-hadits yang menunjukkan larangan akan hal ini. Juga karena adanya perselisihan yang kuat dalam permasalahan ini yang didukung oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti). (Taisirul ‘Allam, 1/55)

Boleh Kencing Berdiri
Al-Imam al-Bukhari t ketika membawakan hadits Hudzaifah z yang menerangkan Rasulullah n kencing berdiri sebagaimana telah lewat di atas, beliau mengatakan dengan judul bab (Bolehnya) Kencing Berdiri dan Jongkok. Sehingga dipahami di sini bolehnya kencing dalam keadaan berdiri dan duduk, walaupun dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu.
Didapatkan pula dari perbuatan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Umar ibnul Khaththab, Zaid bin Tsabit, dan selainnya g, mereka kencing dengan berdiri. Ini menunjukkan perbuatan ini dibolehkan dan tidak makruh apabila memang aman dari percikan air kencing. (‘Aunul Ma’bud, 1/29)
Ibnul Mundzir t berkata, “Sebagian ahlul ilmi menyenangi bagi orang yang kencing dalam keadaan duduk untuk menjauh dari manusia. Mereka juga memandang tidak apa-apa kencing di dekat orang lain bila dilakukan dengan berdiri. Karena kencing dalam keadaan berdiri lebih menjaga dubur dan lebih selamat dari percikan najis. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari ‘Umar.” (al-Ausath, 1/322)

Berhati-Hati dari Percikan Najis
Rasulullah n pernah melewati dua kuburan dan mengabarkan:

إِنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ. ثُمَّ قَالَ: بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ

“Dua penghuni kuburan ini sedang diazab. Tidaklah mereka diazab karena perkara yang besar.” Kemudian Rasulullah mengatakan, “Bahkan ya. Adapun salah satunya, ia diazab karena tidak berhati-hati/ tidak menjaga dirinya dari kencing….” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292, dengan lafadz al-Bukhari)
Ibnu Daqiqil ‘Ied t mengatakan, “Kedua penghuni kuburan itu tidaklah diazab karena perkara yang sulit untuk menghilangkannya atau mencegahnya, serta berhati-hati darinya. Yakni perkara itu sebenarnya mudah, gampang bagi orang yang (mau) menjaga diri darinya.” Beliau juga berkata, “Dua perkara ini termasuk dosa besar.” (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/62)
Tidak berhati-hati dari kencing sehingga menajisi tubuh merupakan penyebab azab kubur sebagaimana diberitakan Nabi n dalam hadits di atas, padahal mungkin perkara ini dianggap sepele oleh kebanyakan orang.
Rasulullah n mencontohkan dengan merenggangkan/menjauhkan kedua kaki ketika duduk untuk buang hajat guna menghindari percikan air kencing. Al-Hasan z berkata, “Telah menceritakan kepadaku orang yang melihat Nabi n, beliau kencing dalam keadaan jongkok dengan merenggangkan kedua kaki beliau selebar-lebarnya, sehingga kami mengira pangkal paha beliau akan terlepas.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1/121 dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ush Sahih, 1/500)

Tidak Berbicara
Tidak sepantasnya seseorang berbicara dengan jenis pembicaraan apa pun ketika sedang buang hajat kecuali bila memang terpaksa, sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha. Keadaan terpaksa itu seperti ia melihat seorang buta berjalan menuju sumur dan dikhawatirkan akan terperosok ke dalamnya, ada orang yang mengajaknya bicara dan mau tidak mau harus menjawabnya, ia punya keperluan kepada seseorang dan khawatir orang itu akan berlalu, ia meminta air, atau ada binatang berbisa yang hendak menggigit seseorang sementara orang itu tidak melihatnya dan semisalnya. Dalam keadaan seperti ini dibolehkan berbicara. (al-Majmu’, 2/107, asy-Syarhul Mumti’, 1/95)
Termasuk pembicaraan yang dilarang di sini adalah menjawab salam dan ucapan zikir lainnya. Al-Baghawi t berkata dalam Syarhus Sunnah, “Bila seseorang bersin dalam keadaan ia sedang buang hajat maka ia mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) di dalam hati.” Demikian pula yang dikatakan oleh al-Hasan, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, dan Ibnul Mubarak. Larangan berzikir di sini merupakan larangan makruh menurut kesepakatan yang ada. Ibnul Mundzir menghikayatkan makruhnya hal ini dari Ibnu Abbas, ‘Atha, Ikrimah, an-Nakha’i, dan Ibnu Sirin. Ibnul Mundzir juga mengatakan, “Meninggalkan zikir ketika buang hajat lebih aku sukai, namun aku tidak menganggap berdosa orang yang melakukannya.” (al-Majmu’, 2/108, al-Furu’, 1/84)

Larangan Istinja’ dengan Tangan Kanan
Rasulullah n melarang kita untuk menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing dan ketika istinja’ (cebok), sebagaimana sabdanya:

لاَ يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلاَءِ بِيَمِينِهِ
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika sedang kencing dan jangan pula cebok dengannya setelah buang hajat.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 154 dan Muslim no. 267)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Larangan istinja’ dengan tangan kanan termasuk salah satu adab dalam istinja’. Ulama sepakat tentang dilarangnya perkara ini. Jumhur ulama berpendapat larangan di sini menunjukkan makruhnya bukan haram.” Kemudian beliau berkata, “Memegang kemaluan dengan tangan kanan hukumnya makruh.” (Syarah Shahih Muslim, 3/156, 159)

Larangan Bersuci dengan Tulang dan Kotoran Hewan yang Telah Mengering/Membatu (Rautsah)
Nabi n pernah meminta kepada Abu Hurairah z untuk mencari batu guna keperluan bersuci beliau. Beliau n bersabda:

وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ
“Jangan engkau datangkan untukku tulang dan jangan pula rautsah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 155)
Di waktu yang lain, Abdullah bin Mas’ud z pernah diminta Rasulullah n mencari tiga batu untuk bersuci. Namun ia hanya mendapatkan dua batu, sehingga ia mengambil rautsah lalu diserahkannya kepada Nabi n. Beliau lalu mengambil dua batu tersebut dan membuang rautsah, seraya berkata, “Ini adalah kotoran.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 156)
Ibnu Qudamah t berkata, “Tidak boleh bersuci dengan menggunakan rauts ataupun tulang. Bersuci dengan keduanya tidaklah mencukupi, demikian pendapat mayoritas ahli ilmu. Ini juga pendapat ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan Ishaq.” (al-Mughni, 1/104)

Doa Keluar dari Tempat Buang Hajat

غُفْرَانَكَ

“Aku memohon pengampunan-Mu.” (HR. at-Tirmidzi no. 8, Abu Dawud no. 28, Ibnu Majah no. 296, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalil no. 52)
Doa di atas diucapkan ketika seseorang keluar dari tempat buang hajat. Kesesuaian doa ini dengan keadaan tersebut adalah setelah seseorang diringankan dan dilindungi dari gangguan fisik, dia akan teringat gangguan berupa dosa. Maka dia meminta kepada Allah l agar meringankan dosanya dan mengampuninya, sebagaimana Allah  l telah menganugerahkan perlindungan kepadanya dari gangguan fisik. (asy-Syarhul Mumti’, 1/84)
Di samping itu, kekuatan manusia itu amatlah terbatas untuk mensyukuri nikmat yang dicurahkan oleh Allah l berupa makanan, minuman, dan pengaturan zat makanan di dalam tubuh sesuai dengan kebutuhan sampai akhirnya dikeluarkan sisanya dari tubuh. Oleh karena itu, sepantasnya seorang hamba memohon ampun kepada Allah l sebagai pengakuan akan kekurangan tersebut dari apa yang sepatutnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 1/42)

Tempat Terlarang untuk Buang Hajat

q Air yang tidak mengalir

لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لاَ يَجْرِي

“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 239 dan Muslim no. 282)
Yang rajih (kuat) dari larangan di sini adalah menunjukkan keharamannya. Baik air yang tidak mengalir itu banyak maupun sedikit, kencing maupun buang air besar, terlebih buang air besar ini lebih jelek daripada kencing. Perkara yang juga terlarang dalam permasalahan ini adalah jika seseorang kencing di dalam bejana kemudian dia buang air kencing tersebut ke air yang tidak mengalir tersebut. Sementara itu, tidaklah terlarang membuang hajat pada air yang mengalir, namun lebih baik dijauhi. Terlebih lagi bila air yang mengalir itu sedikit. (Syarah Shahih Muslim, 3/187—188, Subulus Salam, 1/34—35)

q Lubang

لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْجُحْرِ
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di lubang (yang biasa digali oleh binatang sebagai tempat persembunyiannya).” (HR. Ahmad no. 19847 dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ush Shahih, 1/499)
Qatadah t, salah seorang perawi hadits ini, ditanya oleh murid-muridnya tentang alasan pelarangan di atas. Qatadah pun menjawab, “Lubang-lubang itu adalah tempat tinggal jin.”3 (al-Jami’ush Shahih, 1/499)
Di samping itu, tentu juga mengganggu hewan yang ada di dalamnya.

q Jalan yang dilewati manusia dan tempat mereka bernaung

اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ. قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ

“Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang dilaknat (oleh manusia).” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan dua penyebab orang dilaknat?” Beliau menjawab, “Orang yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia4 atau di tempat yang biasa mereka bernaung.” (Sahih, HR. Muslim no. 269)
Al-Khaththabi t dan ulama selainnya berkata, “Yang dimaukan dengan tempat naungan adalah tempat yang dijadikan oleh manusia untuk bernaung, mereka singgah dan duduk di situ.” (Syarah Shahih Muslim, 3/163)
Buang hajat di tempat demikian dilarang karena mengganggu kaum muslimin dengan menajisi dan mengotori tempat lalu-lalang mereka (Syarah Shahih Muslim, 3/163). Sementara memberikan gangguan kepada kaum muslimin itu diharamkan. (ad-Darari, 24, asy-Syarhul Mumti’, 1/102)
Ada lagi tempat-tempat terlarang lainnya untuk buang hajat, seperti di mata air atau sungai yang digunakan manusia untuk minum dan wudhu, di bawah pohon yang sedang berbuah walaupun tidak digunakan untuk bernaung, dan di tepi sungai yang mengalir, serta di pintu-pintu masjid. Namun hadits yang menyebutkan tempat-tempat tersebut semuanya lemah. Hanya saja yang menjadi patokan kita adalah tidak boleh memberikan gangguan kepada manusia, sehingga kita harus menghindari buang hajat di tempat-tempat mana saja yang biasa dimanfaatkan oleh mereka. (Bulughul Maram, 41, Subulus Salam, 1/117, al-Furu’, 1/86)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Jumat, 30 September 2011

Mengenal Shalat Jama’ Dan Qashar

Abu Salma Al-Atsari

Shalat jama’ maksudnya melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’.
Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS.Annisa; 101),
Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah Ta’ala yang disuruh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).

Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).

Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir rahimahullah mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat, (HR.Bukhari Muslim).

Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).

Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah ( langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.

Wallahu a’lam bis Shawaab

Sumber: abusalma.net dan dipublikasikan kembali oleh: ibnuabbaskendari.wordpress.com
Referensi:
Fatawa As-Sholat, Syeikh Abdul Aziz bin Baz
Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, DR. Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi

Jumat, 23 September 2011

Sifat Shalat Wanita Ketika Safar

Ustadz  Abu Zuhair al-Anwar

 Ketika seorang wanita melakukan perjalanan jauh (safar), berlaku baginya berbagai macam hukum safar yang telah dijelaskan secara rinci oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer.
Di antara hukum safar yang banyak mendapatkan perhatian secara khusus dari para ulama adalah hukum sholat ketika safar. Tidak satupun kitab fiqih yang mu’tabar (dianggap/diakui keilmiahannya) kecuali di dalamnya terdapat pembahasan ini.
Kali ini, insya Allah kita akan mempelajari secara singkat hukum-hukum seputar sholat wanita ketika safar. Semoga pembahasan ini dapat menjadi lampu penerang bagi kaum wanita ketika safar dan kaum muslimin secara umum.

1.      Disunnahkan meng-qoshor (meringkas) sholat
Seorang wanita yang melakukan safar-baik safar mubah (seperti safar untuk rekreasi di tempat yang aman dari fitnah atau godaan), safar taat (seperti safar untuk menunaikan ibadah haji), safar maksiat (safar untuk melakukan sesuatu yang haram), atau safar makruh (safar untuk melakukan hal yang makruh)- disunnahkan untuk mengqoshor sholat yang semula empat roka’at menjadi dua roka’at. Adapun sholat yang tiga roka’at atau dua roka’at maka tidak boleh diqoshor.
Dalil-dalil disunnahkannya qoshor :

a.      Dari al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman :
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqoshor sholat(mu) jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu    (QS. an-Nisa’ [4] : 101).

b.      Dari perkataan Nabi SAW
Rasululloh SAW bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya ia (sholat dengan cara diqoshor) merupakan shodaqoh dari Alloh, maka terimalah shodaqohnya.” (HR. Muslim 686).

c.       Dari perbuatan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Berkata Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu: “Saya menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at (diqoshor-red). (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan itu) sampai beliau meninggal dunia. Saya menemani Abu Bakar dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at sampai beliau meninggal dunia. Saya menemani umar dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at sampai beliau meninggal dunia. Saya menemani Utsman dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at sampai beliau meninggal dunia”. (HR. Bukhari 1102).

d.      Dari perkataan sahabat
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum (tatkala beliau ditanya tentang sebab seorang laki-laki yang sedang safar melakukan sholat dua roka’at ketika sholat sendirian dan ketika sholat dengan imam yang mukim ia sholat empat roka’at): “Itulah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar riwayat Ahmad : 1/216)

2.      Menyempurnakan roka’at sholat bila sholat di belakang imam mukim
Apabila seorang wanita yang safar di belakang imam mukim maka ia wajib menyempurnakan sholatnya sebanyak empat roka’at dalam rangka mengikuti imamnya. Karena itulah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ketika dalam safar dan sholat di belakang imam mukim beliau sholat empat roka’at, dan ketika sholat sendirian beliau sholat dua roka’at (lihat Atsar shohih riwayat Muslim 694).
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum (tatkala beliau ditanya tentang sebab seorang laki-laki yang sedang safar melakukan sholat dua roka’at ketika sholat sendirian dan ketika sholat dengan imam yang mukim ia sholat empat roka’at) : “Itulah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar riwayat Ahmad : 1/216).

3.      Boleh menjama’ antara dua sholat
Seorang wanita yang melakukan safar boleh menjama’ (mengumpulkan pelaksanaan dua sholat dalam satu waktu sholat), baik di waktu sholat yang awal maupun di waktu sholat yang akhir, kecuali sholat Shubuh yang mana ia wajib dilakukan pada waktunya.
Hal ini berdasarkan perbuatan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau pernah menjama’ antara Dzuhur dan Ashar ketika di Arofah (lihat hadits riwayat Muslim 1218), ketika berada di Tabuk (lihat hadits riwayat Abu Dawud 1206), dan ketika berada di Abthoh (nama tempat yang dekat kota Makkah). (lihat hadits riwayat Bukhori 501).

4.      Boleh sholat fardhu maupun sholat sunnah di kendaraan
Sholat fardhu pada asalnya tidak boleh dilakukan di atas kendaraan. Ibnu Umar mengatakan, ”Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sholat di atas kendaraan ketika sedang safar. (beliau menghadap) ke arah manapun kendaraan menghadap, dan melakukan isyarat dengan kepala ke arah manapun kendaraannya menghadap, dan beliau tidak melakukan hal itu dalam sholat wajib.” (Atsar riwayat Bukhari 1098)
Namun, apabila seorang wanita tidak dapat melakukan sholat fardhu kecuali di kendaraan karena adanya udzur syar’i, seperti sakit, atau jika turun dari kendaraan yang akan ditinggal rombongannya, atau udzur-udzur yang lainnya, boleh baginya untuk sholat di atas kendaraan. Jika ia mampu sholat dengan berdiri maka wajib baginya sholat dengan berdiri, dan jika tidak mampu maka sholat sesuai dengan keadaan.
Allah Ta’ala berfirman :

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kadar kemampuannya. (QS. Al-Baqoroh [2] : 286).

Jika kendaraan berupa kapal laut maka ia sholat sebagaimana di daratan, sebab kebanyakan kapal laut sekarang sangat luas dan ada tempat sholatnya secara khusus. Adapun jika berupa kapal terbang, maka jika ia mampu dan tak ada madhorot (membahayakan diri) maka ia sholat dengan berdiri. Namun jika tidak mampu atau termadhoroti dengannya maka ia sholat sesuai kemampuan dan keadaannya.
Adapun sholat sunnah di kendaraan tidaklah diwajibkan dengan berdiri, namun boleh dengan duduk. Dan boleh pula dengan duduk dan berdiri.
Apabila ia sholat sunnah dengan duduk bukan karena udzur, maka ia mendapatkan separuh pahala sholat sunnah dengan berdiri, dan bila karena udzur maka ia mendapatkan pahala sholat dengan sempurna sebagaimana sholat sunnah orang yang berdiri.
Dari Imron bin Husain radhiyallahu ‘anhum beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sholatnya seorang laki-laki dengan duduk, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ”Jika ia sholat dengan berdiri maka lebih utama. Dan barangsiapa sholat dengan duduk, maka baginya pahala orang yang sholat dengan berdiri, dan barangsiapa sholat dengan berbaring, maka baginya separuh pahala orang yang sholat dengan duduk.” (HR. Jama’ah kecuali Imam Muslim).

5.      Tidak disunnahkan sholat sunnah rowatib
Ketika safar tidak disunnahkan melakukan sholat sunnah rowatib (sholat sunnah yang mengiringi sholat fardhu) kecuali sholat rowatib sebelum sholat Shubuh. Hal ini karena Rosululloh ketika safar tidak pernah melakukan sholat sunnah rowatib kecuali sholat rowatib sebelum sholat Shubuh.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum mengatakan : ”Saya menemani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanannya, dan saya tidak melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sholat sunnah di perjalanannya tersebut.” Lalu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum membacakan firman Allah Ta’ala :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rohmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33] : 21) (Atsar shohih riwayat Ibnu Khuzaimah 952).

Dan juga berdasarkan keumuman hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan sholat sunnah sebagaimana penjagaan beliau terhadap dua roka’at sebelum Shubuh.” (HR. Bukhari 1163).
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ketika melihat para sahabatnya melakukan sholat sunnah ketika safar, beliau berkata : ”Kalau seandainya saya sholat sunnah, sungguh saya akan menyempurnakan sholatku.” (Atsar riwayat Muslim 689).
Adapun sholat sunnah mutlak (tidak dibatasi oleh waktu, hitungan dan tempat tertentu dan juga bukan sholat rowatib) tidaklah mengapa dikerjakan. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum (Atsar riwayat Bukhari 1101).
Berkata Imam Ahmad           : “Apabila seseorang melakukan sholat sunnah mutlak (ketika safar) saya berharap semoga tidak mengapa (tidak melanggar sunnah).” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam 2/383).

6.      Tetap Disunnahkan Sholat Witir
Seorang wanita ketika dalam safar tetap disunnahkan untuk melaksanakan sholat Witir. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya Asma’ ketika berada di Muzdalifah (lihat hadits Bukhari 1679 dan Muslim 1291).
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah : “Sesungguhnya termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat safar adalah beliau hanya mencukupkan diri melakukan sholat wajib saja. Tidaklah dinukil dari beliau bahwasanya beliau melakukan sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat fardhu kecuali sholat Witir dan dua roka’at sebelum fajar. Beliau tidak meninggalkan keduanya baik ketika mukim maupun safar.” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam 2/383).

7.      Ketika sholat yang terlupakan tiba-tiba teringat
Bilamana seorang wanita berada dalam safar, lalu tiba-tiba ia teringat sholat yang ia tinggalkan karena lupa atau tertidur ketika masih mukim, maka ketika ia mengingatnya saat itu juga ia mengqodho’ (melakukan sholat di luar waktu) sholatnya tersebut dan menyempurnakan bilangan roka’at sebagaimana layaknya orang yang mukim. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Barangsiapa tertidur atau lupa dari suatu sholat, maka hendaknya ia mengerjakan (sholat)nya ketika ia mengingatnya”. (HR. Bukhari 597).
Sebaliknya, jika ia dalam keadaan mukim kemudian ia teringat dengan sholat yang ia tinggalkan karena lupa atau tertidur ketika safar, maka ketika ia mengingatnya saat itu juga ia mengqodho’ sholatnya tersebut dan mengqhoshornya sebagaimana layaknya orang yang safar.

8.      Bagaimana apabila seseorang telah memulai sholatnya dengan qoshor, lalu di tengah-tengah sholat ia telah sampai di tempat tinggalnya ?
Bilamana seorang wanita yang berada dalam safar menuju tempat tinggalnya sedang mengqoshor sholatnya, kemudian di tengah-tengah sholat ia telah sampai tujuan, maka dalam keadaan seperti itu ia menyempurnakan sholatnya sebagaimana sholat orang yang mukim, yakni empat roka’at, sebab saat itu ia tengah menghadapi dua hal yang berlawanan, yakni safar dan mukim : safar membolehkannya mengqoshor sholat dan mukim mencegahnya dari mengqoshor sholat. Dalam kaidah ushul fiqih dikatakan : ”Sesuatu yang mencegah lebih didahulukan daripada sesuatu yang membolehkan”. Kaidah ini berdasarkan dua sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shohih berikut ini :
”Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu, dan lakukan sesuatu yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi 2517)
”Barangsiapa menjaga diri dari perkara yang samar baginya maka sungguh ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR. Muslim 1599).


Sumber: Majalah Almawaddah volume: 22 edisi ke: 12 thn. Ke 2 :: Rojab 1430H :: Juli 2009M

Sabtu, 17 September 2011

Keajaiban Seorang Muslim (jilid 3-habis)

• Bagaimana cara kita bersyukur?
Syukur terdiri dari tiga tingkatan :

 1. Bersyukur dengan hati, yakni dengan meyakini bahwa seluruh nikmat bersumber dari Allah ta’ala. Dalam sebuah ayat Allah subhânah mengingatkan,

“وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ”.

Artinya: “Segala nikmat yang ada pada diri kalian (datangnya) dari Allah”. (QS. An-Nahl: 53).

Kelihatannya mempraktekkan syukur jenis ini mudah. Namun realita berkata bahwa tidak sedikit di antara masyarakat yang praktek kesehariannya membuktikan bahwa mereka masih belum meyakini betul bahwa nikmat yang mereka rasakan bersumber 100 % dari Allah ta’ala.
Contoh nyatanya: di berbagai daerah, setelah panen padi, di pojok-pojok sawah diletakkan berbagai uba rampe. Beras merah, ayam, kelapa muda dan lain-lain. Untuk siapa itu semua?? Persembahan untuk Allah kah? Atau sesaji untuk ‘pemberi pangan’; Dewi Sri?
Yang lebih miris dari itu, keyakinan akan keberadaan Dewi Sri diajarkan pula kepada anak-anak kita di sekolahan.
Di sebuah buku pelajaran sekolah tertulis “Dongeng Datangnya Dewi Sri”. Di dalamnya ada kalimat: “Semua merasa bahwa padi adalah pemberian Dewi Sri untuk bahan pangan untuk seluruh manusia. Di Pulau Jawa orang menyebutnya Dewi Sri. Di Sumatra ada yang menamakannya Putri Dewi Sri, Putri Mayang Padi Mengurai, atau Putri Sirumpun Emas Lestari.”
Innalillah wa inna ilaihi raji’un… Dongeng khayal yang merusak aqidah ternyata diajarkan kepada anak-anak kita!

2. Bersyukur dengan lisan, yakni dengan memperbanyak mengucapkan hamdalah, sebagaimana perintah Allah ta’ala,

“وَقُلِ الْحَمْدُ لِلّهِ”.

Artinya: “Katakanlah: alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. (QS. Al-Isra: 111 dan an-Naml: 93).

Termasuk bentuk syukur dengan lisan; menceritakan kenikmatan yang kita rasakan kepada orang lain. Allah ta’ala memerintahkan,

“وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ”.

Artinya: “Adapun mengenai nikmat Rabbmu, maka ceritakanlah”. (QS. Adh-Dhuha: 11).

3. Syukur dengan anggota tubuh, yakni mempergunakan nikmat Allah untuk ketaatan pada-Nya bukan untuk berbuat maksiat. Syukur jenis ketiga ini amat berat, sehingga hanya sedikit yang mengamalkannya. Allah ta’ala befirman,

“اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ”.

Artinya: “Wahai keluarga Dawud beramallah sebagai bentuk syukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali di antara para hamba-Ku yang bersyukur”. (QS. Saba’: 13).

Mata kita dipergunakan untuk membaca al-Qur’an bukan untuk melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Telinga kita dipergunakan untuk mendengarkan pengajian bukan untuk mendengarkan musik dan nyanyian. Kaki kita pergunakan untuk mencari nafkah bukan untuk mendatangi tempat-tempat maksiat. Harta kita dipergunakan untuk shadaqah bukan untuk membeli barang-barang yang dibenci oleh Allah.
Dengan ini nikmat-nikmat Allah akan terus bertambah, jika tidak maka nikmat tersebut akan dicabut di dunia atau kita akan disiksa Allah di akherat.
Dalam al-Qur’an:

“وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ”.

Artinya: “(Ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”. (QS. Ibrahim: 7).

Kiat agar kita menjadi hamba yang pandai bersyukur

1. Meminta tolong kepada Allah ta’ala agar dibantu bersyukur. Di antara wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam kepada Mu’adz,

“أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ”.

“Wahai Mu’adz, aku wasiatkan padamu agar setiap akhir shalat tidak meninggalkan untuk membaca doa “Ya Allah, bantulah aku agar senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Mu”. (HR. Abu Dawud dan yang lainnya. Hadits ini dinilai sahih oleh al-Hakim, Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban dan al-Albani).

2. Senantiasa berusaha membandingkan kenikmatan duniawi yang kita rasakan dengan kenikmatan orang yang di bawah kita.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menasehatkan,

“انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّه”.

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas kalian; sebab hal itu akan mendidik kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

Orang yang hanya memiliki rumah gedek melihat orang yang tidak punya rumah.
Orang yang cuma berlauk tempe melihat orang yang hanya berlauk garam.
Orang yang memiliki sepeda onthel melihat orang yang tidak memiliki kendaraan.
Begitu seterusnya. Bukan malah sebaliknya!
 SABAR

• Definisi sabar
Secara bahasa, sabar berarti: menahan dan mencegah. Adapun artinya secara istilah: mencegah dan menahan diri dari berkeluh kesah, menahan lisan dari mengeluh dan anggota badan dari mengamuk, seperti menampar pipi, merobek baju dan semisalnya.

• Perintah untuk sabar
Begitu banyak ayat maupun hadits yang memotivasi kita untuk bersabar. Ada yang berupa perintah secara tegas untuk bersabar, sebagaimana dalam firman Allah,

“وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ”.

Artinya: “Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar”. (QS. Al-Anfal: 46).

Adapula yang berupa keterangan tentang keistimewaan karakter sabar, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

“وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ”.

“Barang siapa menahan dirinya untuk bersabar niscaya Allah akan sabarkan dia. Tidak ada karunia yang lebih baik dan lebih luas dibanding kesabaran”. (HR. Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudry).

Bentuk-Bentuk Kesabaran
Manakala berbicara tentang sabar, kerap kebanyakan orang memahaminya secara parsial, yakni sabar dalam musibah saja. Padahal sabar itu bermacam-macam.
Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga :

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah.
Merealisasikan ketaatan kepada Allah amat membutuhkan kesabaran. Karena secara tabiat, jiwa manusia cenderung lari dan menghindar dari sesuatu yang membelenggu atau mengikat dirinya. Sedangkan peribadatan kepada Allah itu mengekang syahwat jiwa.
Oleh karena itu, jiwa tidak bisa istiqamah dalam menjalankan perintah Allah dengan mudah. Sehingga jiwa harus senantiasa dilatih dan hawa nafsu harus dikekang. Kesemuanya itu sangat membutuhkan kesabaran.
Allah ta’ala berfirman,

“رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ”.

Artinya: “Rabb (yang menguasai) langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan bersabarlam dalam beribadah kepada-Nya”. (QS. Maryam: 65).

2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan.
Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca: ngerumpi), dusta dan memandang sesuatu yang haram.
Mengumbar syahwat memang  kelihatannya enak dan menyenangkan. Bahkan Allah ta’ala sendiri menggambarkan bahwa itu nampak indah di mata manusia. Kata Allah jalla wa ‘ala,

“زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ”.

Artinya: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran: 14).

Namun justru di situlah letak ujian dan cobaannya. Sebab tidak setiap cobaan itu berupa keburukan, namun juga terkadang berupa kesenangan. Sebagaimana yang Allah isyaratkan dalam firman-Nya,

“وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ”.

Artinya: “Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan”. (QS. Al-Anbiyâ’: 35).

Terkadang orang bisa bersabar manakala diuji dengan keburukan, semisal kemiskinan, sakit dan musibah. Namun belum tentu ia akan lulus manakala diuji dengan kebaikan semisal kekayaan, kesehatan dan keselamatan lahir.
Oleh karena itu, seorang hamba membutuhkan kesabaran untuk menghadapi tipu daya dunia dan nafsu syahwat. Sehingga syahwatnya tidak lepas kendali manakala berhadapan dengan wanita, anak, uang dan sawah ladang.

3. Sabar dalam menghadapi musibah dan takdir Allah yang menyakitkan
Tidak seorangpun insan hidup di dunia yang lepas dari rasa sedih, penyakit, kehilangan orang tercinta dan kekurangan harta. Baik ia orang baik maupun jahat, mukmin maupun kafir.
Hanya saja perbedaannya seorang mukmin menghadapi musiban ini dengan penuh keridhaan dan ketenangan dalam hatinya. Karena ia mengetahui dengan yakin bahwa apa yang telah digariskan Allah pasti tidak akan pernah bisa dihindari. Sebaliknya apa yang tidak ditakdirkan Allah untuknya juga tidak akan pernah menimpa dirinya.
Allah ta’ala berfirman,

“وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ”.

Artinya: “Sungguh Kami akan memberikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah: 155).

Orang yang beriman manakala ditimpa musibah ia akan tetap bersabar, sebab ia yakin betul bahwa apapun pilihan Allah itulah yang terbaik untuknya dan pasti ada hikmah di balik itu.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bertutur,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْضِي لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ”.

“Sesungguhnya Allah tidak menakdirkan sesuatu untuk seorang mukmin melainkan itu baik untuknya”. (HR. Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan al-Albany).


Kiat meraih kesabaran
 
A. Kiat meraih kesabaran dalam ibadah

 Menumbuhkan rasa cinta kepada Allah. Antara lain dengan meresapi betapa banyak karunia nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita.
  • Mujahadatun nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat untuk mengalahkan nafsu yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas dan kikir.
  • Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna.
  • Perlu mengadakan latihan-latihan sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah daripada menyaksikan televisi, misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah.
  • Membaca-baca kisah-kisah kesabaran dan semangat beribadah para sahabat, tabi’in maupun ulama salaf lainnya.
B. Kiat meraih kesabaran dalam menghindari maksiat
  1. Malu kepada Allah yang selalu melihat segala perbuatan dan mendengar semua perkataannya.
  2. Mengingat curahan nikmat yang telah diberikan Allah pada kita dan kebaikan-Nya atas diri kita.
  3. Takut kepada Allah dan azab-Nya.
  4. Menyadari betul akan akibat, dampak buruk dan bahaya dari perbuatan maksiat.
C. Kiat meraih kesabaran dalam menghadapi musibah
  1. Mengetahui pahala sabar dalam menghadapi musibah.
  2. Beriman bahwasanya musibah tersebut merupakan bagian dari takdir yang telah tertulis dalam Lauh al-Mahfuzh sebelum diciptakannya manusia. Sehingga berkeluh kesah hanya akan menambah bencana.
  3. Meyakini bahwa di balik musibah tersebut ada hikmah  dan kebaikan untuk kita.
  4. Menyadari bahwa datangnya musibah itu disebabkan dosa-dosa kita. Sebagaimana dalam QS. Asy-Syurâ: 30.
Wallahu ta’ala a’lam.
Oleh: Abdullah Zaen, Lc, MA


DAFTAR PUSTAKA:

  • Al-Qur’an dan Terjemahannya.
  • An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar karya Ibn al-Atsir.
  • Indahnya Kesabaran karya Sa’id bin Ali al-Qahthany.
  • Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam karya Ibn Rajab al-Hambaly.
  • Kitab ats-Tsiqât karya Imam Ibn Hibban.
  • Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr.
  • Maqâyis al-Lughah karya Ibn Faris.
  • Mufradât Alfâzh al-Qur’ân karya ar-Raghib al-Ashfahany.
  • Musnad Imam Ahmad.
  • Mustadrak al-Hakim.
  • Sabar; Keajaiban Seorang Mukmin.
  • Shahih al-Bukhary.
  • Shahih Ibn Hibban.
  • Shahih Ibn Khuzaimah.
  • Shahih Muslim.
  • Sunan Abi Dawud.
  • Tafsîr ath-Thabary.
  • ‘Uddah ash-Shâbirîn karya Ibn al-Qayyim.



Lihat Kitab ats-Tsiqât karya Imam Ibn Hibban (V/2-5).


Periksa: Tafsîr ath-Thabary (XXIII/118).


Sabar; Keajaiban Seorang Mukmin sebagaimana dalam: http://top-motivation.blogspot.com/2009/09/ sabar-keajaiban-seorang-mukmin.html.


Baca: Maqâyis al-Lughah karya Ibn Faris (III/207), Mufradât Alfâzh al-Qur’ân karya ar-Raghib al-Ashfahany (hal. 461) dan Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr (VII/170).


Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam kitabnya Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam (hal. 458).


Cermati: Mufradât Alfâzh al-Qur’an (hal. 461).


  Buku Bahasa Indonesia untuk SD / MI (Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah) Kelas 4, karangan Widyati S, terbitan PT Bintang Ilmu cetakan 2, Juni 2006, halaman 35, Sebagaimana dalam http://nahimunkar.com/mengagungkan-budaya-adat- melestarikan-syirik-dan-maksiat /#more-219.


Periksa: An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar karya Ibn al-Atsir (III/7) dan Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (hal. 484).


Lihat: ‘Uddah ash-Shâbirîn karya Ibn al-Qayyim (hal. 33).


Baca: Tafsîr ath-Thabary (II/705-706) dan Indahnya Kesabaran karya Sa’id bin Ali al-Qahthany (hal. 48 dst).


Disarikan dari Indahnya Kesabaran (hal. 190) dan Sabar; Keajaiban Seorang Mukmin.

sumber : http://ibnuabbaskendari.wordpress.com