Ustadz Abu Zuhair al-Anwar
Ketika seorang wanita melakukan perjalanan jauh (safar), berlaku baginya berbagai macam hukum safar yang telah dijelaskan secara rinci oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer.
Di antara hukum safar yang banyak mendapatkan perhatian secara khusus dari para ulama adalah hukum sholat ketika safar. Tidak satupun kitab fiqih yang mu’tabar (dianggap/diakui keilmiahannya) kecuali di dalamnya terdapat pembahasan ini.
Kali ini, insya Allah kita akan mempelajari secara singkat hukum-hukum seputar sholat wanita ketika safar. Semoga pembahasan ini dapat menjadi lampu penerang bagi kaum wanita ketika safar dan kaum muslimin secara umum.
1. Disunnahkan meng-qoshor (meringkas) sholat
Seorang wanita yang melakukan safar-baik safar mubah (seperti safar untuk rekreasi di tempat yang aman dari fitnah atau godaan), safar taat (seperti safar untuk menunaikan ibadah haji), safar maksiat (safar untuk melakukan sesuatu yang haram), atau safar makruh (safar untuk melakukan hal yang makruh)- disunnahkan untuk mengqoshor sholat yang semula empat roka’at menjadi dua roka’at. Adapun sholat yang tiga roka’at atau dua roka’at maka tidak boleh diqoshor.
Dalil-dalil disunnahkannya qoshor :
a. Dari al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman :
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqoshor sholat(mu) jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS. an-Nisa’ [4] : 101).
b. Dari perkataan Nabi SAW
Rasululloh SAW bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya ia (sholat dengan cara diqoshor) merupakan shodaqoh dari Alloh, maka terimalah shodaqohnya.” (HR. Muslim 686).
c. Dari perbuatan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Berkata Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu: “Saya menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at (diqoshor-red). (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan itu) sampai beliau meninggal dunia. Saya menemani Abu Bakar dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at sampai beliau meninggal dunia. Saya menemani umar dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at sampai beliau meninggal dunia. Saya menemani Utsman dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at sampai beliau meninggal dunia”. (HR. Bukhari 1102).
d. Dari perkataan sahabat
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum (tatkala beliau ditanya tentang sebab seorang laki-laki yang sedang safar melakukan sholat dua roka’at ketika sholat sendirian dan ketika sholat dengan imam yang mukim ia sholat empat roka’at): “Itulah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar riwayat Ahmad : 1/216)
2. Menyempurnakan roka’at sholat bila sholat di belakang imam mukim
Apabila seorang wanita yang safar di belakang imam mukim maka ia wajib menyempurnakan sholatnya sebanyak empat roka’at dalam rangka mengikuti imamnya. Karena itulah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ketika dalam safar dan sholat di belakang imam mukim beliau sholat empat roka’at, dan ketika sholat sendirian beliau sholat dua roka’at (lihat Atsar shohih riwayat Muslim 694).
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum (tatkala beliau ditanya tentang sebab seorang laki-laki yang sedang safar melakukan sholat dua roka’at ketika sholat sendirian dan ketika sholat dengan imam yang mukim ia sholat empat roka’at) : “Itulah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar riwayat Ahmad : 1/216).
3. Boleh menjama’ antara dua sholat
Seorang wanita yang melakukan safar boleh menjama’ (mengumpulkan pelaksanaan dua sholat dalam satu waktu sholat), baik di waktu sholat yang awal maupun di waktu sholat yang akhir, kecuali sholat Shubuh yang mana ia wajib dilakukan pada waktunya.
Hal ini berdasarkan perbuatan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau pernah menjama’ antara Dzuhur dan Ashar ketika di Arofah (lihat hadits riwayat Muslim 1218), ketika berada di Tabuk (lihat hadits riwayat Abu Dawud 1206), dan ketika berada di Abthoh (nama tempat yang dekat kota Makkah). (lihat hadits riwayat Bukhori 501).
4. Boleh sholat fardhu maupun sholat sunnah di kendaraan
Sholat fardhu pada asalnya tidak boleh dilakukan di atas kendaraan. Ibnu Umar mengatakan, ”Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sholat di atas kendaraan ketika sedang safar. (beliau menghadap) ke arah manapun kendaraan menghadap, dan melakukan isyarat dengan kepala ke arah manapun kendaraannya menghadap, dan beliau tidak melakukan hal itu dalam sholat wajib.” (Atsar riwayat Bukhari 1098)
Namun, apabila seorang wanita tidak dapat melakukan sholat fardhu kecuali di kendaraan karena adanya udzur syar’i, seperti sakit, atau jika turun dari kendaraan yang akan ditinggal rombongannya, atau udzur-udzur yang lainnya, boleh baginya untuk sholat di atas kendaraan. Jika ia mampu sholat dengan berdiri maka wajib baginya sholat dengan berdiri, dan jika tidak mampu maka sholat sesuai dengan keadaan.
Allah Ta’ala berfirman :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kadar kemampuannya. (QS. Al-Baqoroh [2] : 286).
Jika kendaraan berupa kapal laut maka ia sholat sebagaimana di daratan, sebab kebanyakan kapal laut sekarang sangat luas dan ada tempat sholatnya secara khusus. Adapun jika berupa kapal terbang, maka jika ia mampu dan tak ada madhorot (membahayakan diri) maka ia sholat dengan berdiri. Namun jika tidak mampu atau termadhoroti dengannya maka ia sholat sesuai kemampuan dan keadaannya.
Adapun sholat sunnah di kendaraan tidaklah diwajibkan dengan berdiri, namun boleh dengan duduk. Dan boleh pula dengan duduk dan berdiri.
Apabila ia sholat sunnah dengan duduk bukan karena udzur, maka ia mendapatkan separuh pahala sholat sunnah dengan berdiri, dan bila karena udzur maka ia mendapatkan pahala sholat dengan sempurna sebagaimana sholat sunnah orang yang berdiri.
Dari Imron bin Husain radhiyallahu ‘anhum beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sholatnya seorang laki-laki dengan duduk, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ”Jika ia sholat dengan berdiri maka lebih utama. Dan barangsiapa sholat dengan duduk, maka baginya pahala orang yang sholat dengan berdiri, dan barangsiapa sholat dengan berbaring, maka baginya separuh pahala orang yang sholat dengan duduk.” (HR. Jama’ah kecuali Imam Muslim).
5. Tidak disunnahkan sholat sunnah rowatib
Ketika safar tidak disunnahkan melakukan sholat sunnah rowatib (sholat sunnah yang mengiringi sholat fardhu) kecuali sholat rowatib sebelum sholat Shubuh. Hal ini karena Rosululloh ketika safar tidak pernah melakukan sholat sunnah rowatib kecuali sholat rowatib sebelum sholat Shubuh.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum mengatakan : ”Saya menemani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanannya, dan saya tidak melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sholat sunnah di perjalanannya tersebut.” Lalu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum membacakan firman Allah Ta’ala :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rohmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33] : 21) (Atsar shohih riwayat Ibnu Khuzaimah 952).
Dan juga berdasarkan keumuman hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan sholat sunnah sebagaimana penjagaan beliau terhadap dua roka’at sebelum Shubuh.” (HR. Bukhari 1163).
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ketika melihat para sahabatnya melakukan sholat sunnah ketika safar, beliau berkata : ”Kalau seandainya saya sholat sunnah, sungguh saya akan menyempurnakan sholatku.” (Atsar riwayat Muslim 689).
Adapun sholat sunnah mutlak (tidak dibatasi oleh waktu, hitungan dan tempat tertentu dan juga bukan sholat rowatib) tidaklah mengapa dikerjakan. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum (Atsar riwayat Bukhari 1101).
Berkata Imam Ahmad : “Apabila seseorang melakukan sholat sunnah mutlak (ketika safar) saya berharap semoga tidak mengapa (tidak melanggar sunnah).” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam 2/383).
6. Tetap Disunnahkan Sholat Witir
Seorang wanita ketika dalam safar tetap disunnahkan untuk melaksanakan sholat Witir. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya Asma’ ketika berada di Muzdalifah (lihat hadits Bukhari 1679 dan Muslim 1291).
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah : “Sesungguhnya termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat safar adalah beliau hanya mencukupkan diri melakukan sholat wajib saja. Tidaklah dinukil dari beliau bahwasanya beliau melakukan sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat fardhu kecuali sholat Witir dan dua roka’at sebelum fajar. Beliau tidak meninggalkan keduanya baik ketika mukim maupun safar.” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam 2/383).
7. Ketika sholat yang terlupakan tiba-tiba teringat
Bilamana seorang wanita berada dalam safar, lalu tiba-tiba ia teringat sholat yang ia tinggalkan karena lupa atau tertidur ketika masih mukim, maka ketika ia mengingatnya saat itu juga ia mengqodho’ (melakukan sholat di luar waktu) sholatnya tersebut dan menyempurnakan bilangan roka’at sebagaimana layaknya orang yang mukim. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Barangsiapa tertidur atau lupa dari suatu sholat, maka hendaknya ia mengerjakan (sholat)nya ketika ia mengingatnya”. (HR. Bukhari 597).
Sebaliknya, jika ia dalam keadaan mukim kemudian ia teringat dengan sholat yang ia tinggalkan karena lupa atau tertidur ketika safar, maka ketika ia mengingatnya saat itu juga ia mengqodho’ sholatnya tersebut dan mengqhoshornya sebagaimana layaknya orang yang safar.
8. Bagaimana apabila seseorang telah memulai sholatnya dengan qoshor, lalu di tengah-tengah sholat ia telah sampai di tempat tinggalnya ?
Bilamana seorang wanita yang berada dalam safar menuju tempat tinggalnya sedang mengqoshor sholatnya, kemudian di tengah-tengah sholat ia telah sampai tujuan, maka dalam keadaan seperti itu ia menyempurnakan sholatnya sebagaimana sholat orang yang mukim, yakni empat roka’at, sebab saat itu ia tengah menghadapi dua hal yang berlawanan, yakni safar dan mukim : safar membolehkannya mengqoshor sholat dan mukim mencegahnya dari mengqoshor sholat. Dalam kaidah ushul fiqih dikatakan : ”Sesuatu yang mencegah lebih didahulukan daripada sesuatu yang membolehkan”. Kaidah ini berdasarkan dua sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shohih berikut ini :
”Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu, dan lakukan sesuatu yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi 2517)
”Barangsiapa menjaga diri dari perkara yang samar baginya maka sungguh ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR. Muslim 1599).
Sumber: Majalah Almawaddah volume: 22 edisi ke: 12 thn. Ke 2 :: Rojab 1430H :: Juli 2009M
Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar