Selasa, 06 September 2011

Keajaiban Seorang Muslim (jilid 1)

Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul-Nya, keluarga, sahabat dan pengikut setianya.

• Prolog
Di tahun 104 H, di pinggiran negeri Iraq, seorang prajurit kerajaan ditugasi raja untuk menjaga daerah perbatasan. Ia bercerita, “Suatu hari aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka menjaga kawasan pantai dari kedatangan musuh. Tatkala tiba di tepi pantai aku mendapatkan diriku berada di sebuah dataran lapang yang di tengahnya terdapat sebuah tenda, di dalamnya terdapat seorang lanjut usia yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, pendengarannya lemah, serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnya pun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya. Orang itu berkata, “Ya Allah, ilhamilah aku agar bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukur atas nikmat-nikmat yang telah Engkau anugerahkan padaku. Sungguh Engkau telah melimpahkan banyak keistimewaan padaku dibanding kebanyakan makhluk ciptaan-Mu”. 
Prajurit tadi bergumam, “Aku harus mendatangi orang ini, dan bertanya kepadanya: bagaimana mungkin ia bisa mengucapkan perkataan itu, apakah ia paham dengan apa yang diucapkannya? Ataukah ucapannya sekedar ilham yang diberikan kepadanya?”.
Maka akupun mendatanginya, setelah mengucapkan salam aku bertanya, “Aku mendengarmu berkata “Ya Allah, ilhamilah aku agar bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukur atas nikmat-nikmat yang telah Engkau anugerahkan padaku. Sungguh Engkau telah melimpahkan banyak keistimewaan padaku dibanding kebanyakan makhluk ciptaan-Mu”, sebenarnya nikmat apakah yang telah Allah anugerahkan padamu sehingga engkau memuji-Nya atas nikmat tersebut? Lalu keistimewaan apakah yang telah Allah limpahkan padamu hingga engkau mensyukurinya?”.
Orang itu menjawab, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah Allah limpahkan padaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar untuk membakar tubuhku, atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga tubuhku hancur, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkanku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku; maka semua itu tidak akan membuatku melainkan semakin bersyukur kepadaNya; karena Ia telah memberikan kenikmatan tiada terkira padaku yaitu lisanku ini! Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya maka tolonglah engkau mencari kabar tentangnya –semoga Allah merahmati engkau-”. Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”. Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gundukan pasir, tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??”.
Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub. Tatkala aku menemui orang tersebut maka akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”. Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ÷?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ÷”, aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya”, ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!”. Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”.
Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun”, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.
Tatkala tiba malam hari akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga. Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”, ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam keadaan di depan khalayak ramai”.
Siapakah gerangan orang tersebut? Dialah: sosok ulama kota Bashrah yang bernama Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi (w. 104 H).

• Ajaib dan menakjubkan!
Ya, sepenggal kisah kehidupan seorang mukmin yang begitu menakjubkan! Ajaib, seorang renta yang cacat fisik, sudah tiga hari tiga malam tidak makan dan minum, tetap bersabar dan bahkan lisannya masih melantunkan permohonan pada Allah agar dibantu bisa bersyukur pada-Nya!
Luar biasa! Bandingkan dengan kondisi kebanyakan orang, bahkan mungkin termasuk di dalamnya kita, yang masih sempurna fisiknya dan kenikmatan melimpah ruah. Namun demikian, cenderung lebih banyak menggerutu manakala nikmat sedikit berkurang, dan lupa untuk bersyukur ketika nikmat datang silih berganti.
Begitukah perilaku seorang mukmin?

• Seorang mukmin memiliki pribadi yang menakjubkan
Sudah merupakan sunnatullah, bahwa kehidupan dunia tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya serta mati dan hidup. Suatu kondisi yang tidak mungkin dihindari oleh setiap insan.
Tentunya manakala Allah menakdirkan adanya beragam kondisi tersebut, bukan tanpa ada hikmah di balik itu semua. Salah satunya adalah apa yang Allah terangkan dalam firman-Nya,

“الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Artinya: “(Allah) Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun”. QS. Al-Mulk: 2).

Ayat di atas menjelaskan bahwa adanya siklus hidup dan mati adalah untuk menguji siapakah di antara para manusia yang paling taat kepada Allah, dan siapa pula yang paling bersegera dalam mencari keridhaan-Nya.
Kondisi apapun yang dihadapi seorang yang beriman kepada Allah, targetnya adalah menggapai apa yang diridhai Rabbnya. Sekalipun terkadang kenyataan yang ia alami secara lahiriah tidak mengenakkan. Manakala tertimpa musibah misalnya.
Jika dalam keadaan yang menyakitkan saja, seorang mukmin bisa tetap memilih langkah yang mendatangkan keridhaan Allah, apalagi jika ia menghadapi kondisi yang menyenangkan.
Setiap mukmin memiliki pesona. Pesona itu berpangkal dari adanya positif thinking dalam diri seorang mukmin. Ketika mendapatkan kebaikan, ia refleksikan dalam bentuk syukur terhadap Allah ta’ala. Karena ia paham, hal tersebut merupakan anugerah Allah. Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah, ia akan bersabar. Karena ia yakin, hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya, yang tentu ada rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah ta’ala.
Pesona kepribadian tersebut di ataslah, yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam ungkapkan dengan keajaiban seorang mukmin.
• Keajaiban seorang mukmin
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ”.

“Alangkah menakjubkannya kehidupan seorang mukmin. Sungguh seluruh kehidupannya baik. Hal itu tidak dimiliki melainkan oleh mukmin. Jika dikaruniai kebaikan; maka ia bersyukur, dan itu baik untuknya. Dan jika ditimpa keburukan; maka ia bersabar, dan itu baik untuknya”. HR. Muslim dari Shuhaib radhiyallahu’anhu.

Kehidupan seorang hamba di dunia bagaikan roda, kadang ia di bawah dan kadang di atas. Dalam seluruh kondisi tersebut seorang mukmin selalu dalam kebaikan. Sebab manakala posisinya di atas, ia akan menyikapinya dengan bersyukur. Dan ketika posisinya di bawah, ia akan menghadapinya dengan kesabaran. Kedua sikap tersebut; syukur dan sabar, akan menghantarkannya kepada kebaikan dan keridhaan Allah ta’ala. (Bersambung Insya Allah)


sumber: http://ibnuabbaskendari.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar