Senin, 11 Juli 2011

Kisah Shahabat (Abu Ubaidah bin Jarrah r.a.)

Dialah Abu Ubaidah ra., orang yang disabdakan Rasulullah saw.,”Setiap umat memiliki orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” Dialah orang yang diutus oleh Rasulullah pada perang Dzatus-Salasil untuk membantu Amr bin Ash dan dijadikan komandan pasukan. Pada saat itu Abu Bakar ra.dan Umar ra. masih sebagai prajurit.Dialah generasi sahabat yang pertama kali dijuluki panglima besar. Perawakannya tinggi, badannya kurus, berjenggot tipis, dan sedikit ompong karena kedua gigi depannya yang patah.

Abu Ubaidah masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar ash-Shiddiq, di hari-hari pertama perjalanan agama Islam, bahkan sebelum Rasulullah saw. melakukan dakwah di rumah Arqam. Ia termasuk yang ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia) pada gelombang kedua. Kemudian pulang dari Habasyah untuk bergabung bersama Rasulullah saw. di Perang Badar, Uhud, dan peperangan lainnya.

Sejak mengucapkan sumpah setia kepada Rasulullah saw. untuk membaktikan hidupnya di jalan Allah, dia sudah siap berkorban apa saja untuk Allah. Sejak saat itu, ia meyakini bahwa seluruh hidupnya adalah titipan Allah yang harus dipergunakan untuk mencari ridha-Nya. Ia tidak pernah menggunakan hidupnya untuk mencari keuntungan pribadi atau memnuhi kepentingan sendiri. Keinginan atau kebencian apapun tidak bisa memalingkan hidupnya dari jalan Allah.

Rasa tanggung jawab terhadap tugas adalah sifat utama Abu Ubaidah. Pada Perang Uhud misalnya, ia merasakan keinginan kuat pasukan musuh untuk membunuh Rasulullah saw. Karena itu ia putuskan untuk selalu berada dekat disisi Rasulullah saw. Ia tebaskan pedangnya kesetiap arah tentara musuh yang berusaha memadamkan cahaya Allah. Jika kondisi pertempuran memaksanya menjauh dari posisi Rasulullah saw., maka sorot matanya senantiasa menuju kepada Rasulullah saw. dengan perasaan cemas. Jika dilihatnya ada bahaya yang mendekati Rasulullah saw., ia bagaikan anak panah yang disentakkan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah, dan menghalau mereka dengan pedangnya sebelum mereka sempat mencederai beliau.

Suatu ketika, saat pertempuran berkecamuk dengan hebat, ia terpisah dari Rasulullah saw. karena terkepung tentara musuh. Namun seperti biasa, kedua matanya bagai mata elang yang mengintai keadaan sekitarnya. Hampir saja ia gelap mata ketika melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang tentara musyrik mengenai Rasulullah saw. Ia tebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri dengan cepat, bak seratus pedang berkelebatan mengobrak-abrik orang-orang yang mengepungnya. Mereka kocar-kacir. Dengan cepat, Abu Ubaidah melompat ke arah Rasulullah saw. Ia mendapati darah mengalir dari wajah beliau. Rasulullah saw. mengusapnya dengan tangan kanan, dan bersabda “Bagaimana mungkin bahagia suatu kaum yang mengotori wajah Nabi mereka, padahal Nabi itu menyeru mereka untuk menyembah Tuhan mereka?!”

Marilah kita dengar kisah ini dari Abu Bakar,” Pada Perang Uhud, Rasulullah saw. terluka. Dua buah mata rantai penutup kepalanya masuk ke kedua pipi beliau bagian atas. Aku berlari ke arah Rasulullah saw. Ku lihat dari arah timur ada seorang laki-laki seperti terbang menuju ke arah Rasulullah saw. Aku bergumam,’Mudah-mudahan itu pertolongan’. Ketika kami sampai di dekat Rasulullah saw. ternyata laki-laki itu adalah Abu Ubaidah. Ia datang lebih cepat dariku. Ia berkata,’Dengan Nama Allah, biarkan aku yang menolong Rasulullah saw. Biarkan aku yang mencabut mata rantai dari pipi beliau.’ Aku setuju. Abu Ubaidah mencabut mata rantai tersebut dengan giginya. Ia segera menggigit satu mata rantai itu lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah saw. hingga tercabut keluar. Bersamaan dengan itu, satu gigi depan Abu Ubaidah juga lepas. Lalu ia melanjutkannya dengan mata rantai yang kedua hingga tercabut keluar, dan gigi depan Abu Ubaidah yang satunya pun tercabut. Abu Ubaidah kehilangan dua giginya.”

Rasulullah saw. sangat sayang dan percaya kepada Abu Ubaidah. Ketika suatu hari rombongan utusan Najran dari Yaman datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka, kepala rombongan memohon pada Rasulullah saw. agar mengutus seorang guru yang dapat pulang bersama mereka untuk mengajarkan Al-Qur’an, As-Sunah dan ajaran Islam. Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Baiklah, aku akan mengirim bersama kalian orang yang terpercaya. Dia benar-benar terpercaya. Dia benar-benar terpercaya. Dia benar-benar terpercaya.”

Marilah kita dengar kisah selanjutnya dari Umar bin Khattab,”Aku sama sekali tidak suka jabatan. Namun kali ini aku menginginkannya, karena aku ingin mendapatkan kesaksian Rasulullah saw. itu. Aku berangkat shalat zuhur di awal waktu. Setelah shalat berjamaah selesai, Rasulullah saw.mengucapkan salam, melihat ke kanan dan ke kiri. Aku tampakkan kepalaku agar dapat dilihat Rasulullah saw. Namun Beliau terus mencari-cari hingga melihat Abu Ubaidah. Lalu Beliau memanggilnya, dan bersabda ”Pergilah bersama mereka. Putuskan perkara mereka dengan kebenaran.” Maka, Abu Ubaidah berangkat mengemban tugas itu.”

Waktu berjalan sesuai dengan Sunatullah, Rasulullah saw. wafat dan digantikan oleh Khalifah Abu Bakar ra. Dan Abu Bakar wafat, tampuk kepemimpinan kaum muslimin di emban oleh Amirul Mukminin Umar ibnul Khattab ra.

Kemanapun panji Islam bergerak, Abu Ubaidah dengan setia berjalan dibawahnya. Ketika sebagai prajurit, ia bagaikan seorang panglima, karena keistimewaan dan keberaniannya. Ketika sebagai panglima, ia bagaikan seorang prajurit biasa karena keikhlasan dan sikap rendah hatinya.

Tatkala Khalid bin Walid memimpin pasukan Islam dalam suatu pertempuran besar yang menentukan, tiba tiba Khalifah Umar ra. Mengeluarkan perintah pengangkatan Abu Ubaidah menggantikan posisi Khalid. Ketika berita itu diterima Abu Ubaidah dari utusan Khalifah, ia meminta utusan itu untuk menyimpan berita ini. Abu Ubaidah sendiri mendiamkan permasalahan ini, layaknya seorang zuhud, bijaksana, dan terpercaya, hingga Khalid menuntaskan peperangan dengan kemenangan pasukan Islam. Setelah itu baru ia menghadap Khalid dengan penuh hormat dan memberikan surat perintah dari Khalifah.

Khalid bertanya,”Semoga Allah memberimu rahmat, wahai Abu Ubaidah. Mengapa tidak kamu sampaikan kepadaku saat kau terima surat ini?”Abu Ubaidah menjawab,”Aku tidak ingin menghentikan peperanganmu. Bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan untuk dunia kita berbuat. Kita semua adalah saudara yang memperjuangkan agama Allah.”

Abu Ubaidah menjadi panglima besar di Syam. Suatu ketika, Khalifah Umar mengunjungi Syam. Ia bertanya kepada orang-orang yang menyambut kedatangannya, ”Dimana saudaraku?”Mereka balik bertanya,”Siapa?”Khalifah Umar menjawab, ”Abu Ubaidah.”Abu Ubaidah datang, lalu Khalifah Umar merangkulnya. Khalifah Umar di ajak ke rumahnya. Ternyata, di rumah Abu Ubaidah tidak terdapat perabotan rumah tangga sama sekali, yang terlihat hanya sebuah perisai, dan pelana kuda. Dengan tersenyum, Khalifah Umar bertanya, ”Mengapa kamu tidak memperlakukan dirimu seperti orang-orang kebanyakan?”Abu Ubaidah menjawab,”Wahai Khalifah, yang seperti inilah yang bisa membuatku istirahat.”

Suatu hari, di kota Madinah, ketika Khalifah Umar sedang menyelesaikan permasalahan dunia Islam yang semakin luas, seorang utusan datang mengabarkan kematian Abu Ubaidah.

Khalifah Umar memejamkan mata menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk mata. Namun, air mata yang semakin banyak itu tidak kuasa dibendung. Kedua matanya terbuka dan mengalirkan air dengan deras. Ia memohonkan rahmat bagi sahabatnya itu. Semua kenangan manis bersama almarhum terlintas dibenaknya. Kata-kata yang sering ia ucapkan kembali keluar dari lisannya,”Seandainya aku bercita-cita, maka cita-citaku hanyalah memiliki sebuah rumah yang dipenuhi kaum laki-laki seperti Abu Ubaidah.”

Bahkan di detik-detik akhir hayatnya, Khalifah Umar ra. pernah berkata,”Seandainya Abu Ubaidah bin Jarrah masih hidup, aku akan mengangkatnya sebagai penggantiku. Jika nanti Allah menanyakannya, aku akan menjawab,’Aku mengangkat orang kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya”.

Orang kepercayaan umat ini meninggal dunia diwilayah yang sudah dibersihkannya dari keberhalaan Persia dan penindasan Romawi. Di tanah Yordania jasad mulia ini bersemayam.

-Wallaahu'alam bish showab-

Disarikan dari Buku "60 Sirah Sahabat rasulullah SAW", karya Khalid Muhammad Khalid

Disadur dari http://mtua.rekayasa.co.id

Senin, 04 Juli 2011

Kisah Shahabat (Bilal bin Rabah r.a)

Muazzin Rasulullah dan Simbol Persamaan Derajat

Jika di sebut nama Abu Bakar ra., maka Umar ra. akan berkat, ”Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita.” Seseorang yang diberi gelar oleh Umar ra. sebagai “pemimpin kita”, tentu seseorang tokoh yang layak memperoleh kehormatan seperti itu. Tetapi setiap menerima pujian yang ditujukan kepada dirinya, laki-laki yang berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis ini pasti menundukkan kepala dan memejamkan mata. Lalu dengan air mata membasahi pipinya, ia berkata, “Aku ini orang Habsyi. Baru saja aku dimerdekakan dari statusku sebagai budak belian.”  

Dialah Bilal bin Rabah, yang mengumandangkan seruan Islam dan menggoyahkan kaki-kaki berhala.Dialah satu dari keajaiban keimanan dan kejujuran.

Dari sepuluh orang muslim, disetiap generasi, paling tidak ada tujuh orang yang mengenal Bilal. Artinya, ada ratusan juta orang muslim yang mengenal dengan baik siapa Bilal dan bagaimana kiprahnya dalam perjuangan Islam, sebagaimana mereka mengenal siapa dan bagaimana kiprah dua Khalifah terbesar dalam Islam; Abu Bakar ra. dan Umar ra.

Dimanapun anda berada, di belahan bumi manapun yang dihuni kaum muslimin, anda bisa bertanya kepada anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar, ”Siapakah Bilal itu?”Pasti anda akan mendapatkan jawaban seperti ini, ” Ia adalah muazzin Rasulullah. Sebelumnya, dia seorang budak yang disiksa oleh tuannya dengan batu besar di tengah terik panas, agar ia meninggalkan Islam. Namun ia menjawab, ’Ahad (Allah Maha Esa), Ahad (Allah Maha Esa).” 

Islam menjadikan Bilal dikenang sepanjang masa. Bahkan banyak diantara orang-orang terkemuka, orang-orang berpangkat, para pemimpin dan miliarder tidak dikenang oleh generasi demi generasi, sebagaimana mereka mengenang Bilal yang dulunya seorang budak belian dari Habsyi.

Hitamnya warna kulit, rendahnya kasta, dan hinanya budak belian tidak menutup pintu baginya untuk menempati posisi mulia setelah ia masuk Islam. Semua itu ia peroleh dengan kejujuran, kesungguhan, kesucian hati dan perjuangan tiada henti.

Singkatnya, suatu hari Bilal bin Rabah mendapat cahaya ilahi. Hatinya tergetar oleh sentuhan cahaya tersebut. Lalu ia datang kepada Rasulullah dan masuk Islam. Berita keislaman Bilal pun menyebar. Para tokoh bani Jumah (kabilah dimana Bilal menjadi budak) pusing tujuh keliling dan bukan main malunya. Kabilah ini malu karena dianggap tidak bisa mengatur budaknya yang masuk kedalam agama baru. Terlebih Umayah  bin Khalaf, ia bersumpah ”Tunggulah! Sebelum matahari terbenam, pasti keislaman budakku ini sudah terbenam lebih dulu.” 

Ternyata, matahari pun terbenam tanpa diikuti terbenamnya keislaman Bilal. Bahkan suatu saat nanti, matahari terbenam dan membenamkan berhala-berhala jahiliyah dan para pemujanya.

Saat siksaan sudah mencapai batas kesabaran baik yang disiksa atau para penyiksa, Abu Bakar yang mendengar kabar disiksanya Bilal mendatangi mereka. Ia berkata kepada Umayah, ” Berilah harga yang lebih mahal dari harganya, dan biarlah dia merdeka.” Umayah berseloroh, ”Bawalah dia, seandainya engkau hanya menghargai satu tail emas, aku pasti menerimanya.” Abu Bakar  memahami bahwa kata-kata itu hanyalah basa-basi yang keluar karena keputusasaan. Karena ini menyangkut kehormatan seorang laki-laki yang sekarang telah menjadi saudaranya seiman, Abu Bakar menjawab,”Demi Allah, seandainya kalian menghargainya 100 tail emas, aku pasti membayarnya.”

Setelah Rasulullah saw. bersama kaum muslimin Hijrah dan menetap di Madinah, beliaupun mensyariatkan Azan sebagai penggilan untuk melkukan shalat. Bilal mendapat kehormatan dipilih oleh Rasulullah saw. Menjadi muazzin pertama.

Saat perang Badar berkecamuk, Bilal pun berada disana. Ia berkelebat kesana kemari menebaskan pedangnya. Pada kesempatan ini Bilal berhasil membunuh Umayah  bin Khalaf.

Waktu terus berjalan. Hingga tibalah peristiwa pembebasan kota Mekah. Dengan ditemani Bilal, Rasulullah masuk ke dalam Ka’bah dan menghancurkan semua berhala yang ada di dalamnya. Lalu Rasulullah menyuruh Bilal naik ke bagian atas Ka’bah untuk mengumandangkan azan. Sungguh sebuah kemuliaan di tengah suasana yang penuh haru.

Bilal melanjutkan hidupnya bersama Rasulullah saw. Ia ikut dalam setiap pristiwa penting . Ia menjadi muazzin. Ia menghidupkan dan menjaga syiar-syiar Islam; agama besar yang telah menyelamatkannya dari kegelapan perbudakan.

Setelah wafatnya Rasulullah dan tanggung jawab kepemimpinan kaum muslimin dibebankan pada Abu Bakar, terdapat episode menarik dimana Bilal yang ingin berpartisipasi dalam medan Jihad menyampaikan keinginannya pada Khalifah.

Bilal:      ”Wahai Kalifah. Rasulullah pernah bersabda,’Amal perbuatan seorang mukmin yang paling utama adalah berperang dijalan Allah.”

Khalifah: ” Lalu apa yang anda inginkan?”

Bilal:     ”Aku ingin tetap tergabung dalam pasukan perang hingga syahid.”

Khalifah: ”Lantas Siapa yang menjadi muazzin?”

Bilal:      Seraya menangis ”Aku tidak akan menjadi muazzin setelah Rasulullah wafat.”

Khalifah: ”Tidak, engkau harus tetap disini dan menjadi muazzin”

Bilal:     ”Jika sewaktu menebusku engkau ingin menjadikan aku budak, maka aku akan menuruti kemamuanmu. Namun jika penebusan itu karena Allah, maka biarkan aku bebas memilih.”

Khalifah: ”Aku menebusmu karena Allah.”

Bilalpun berangkat kemedan jihad kala itu, di wilayah Syam.

Umar ra. menjadi pengganti Abu Bakar ra. setelah beliau wafat. Saat mengunjungi Syam, kaum muslimin di sana memohon kepada Khalifah Umar ra. agar meminta Bilal mengumandangkan azan walaupun hanya sekali. Bilal dengan perasaan yang berat naik ke menara dan mengumandangkan azan. Para sahabat yang pernah hidup bersama Rasulullah menangis tersedu-sedu, seakan belum pernah menangis. Terutama Khalifah Umar ra.

Bilal ra. wafat di Syam, di medan jihad, seperti yang di inginkan . Di tanah Damaskus, jasad laki-laki agung ini dikuburkan. 

Kisah Bilal dalam sejarah kehidupan bukan hanya kemuliaan bagi Islam, tetapi kemuliaan bagi seluruh umat manusia. Ia telah mampu menghadapi berbagai macam siksa dengan kesabaran dan ketangguhan tiada tara. Seakan Allah menjadikannya simbol teladan, bahwa hitamnya warna kulit dan status sebagai budak belian, sama sekali tidak menghalangi kebesaran jiwa, ketika jiwa telah mengenal Tuhannya dan mengetahui apa yang harus dilakukan.

Bilal telah memberikan pelajaran kepada orang-orang di zamannya dan setiap zaman, kepada orang-orang yang seagama dengannya dan tidak seagama. Pelajaran bahwa kemerdekaan jiwa dan kebebasan nurani, tidak dapat ditukar dengan emas sebanyak apapun atau tidak akan goyah dengan siksa seberat apapun.

-Wallaahu’alam bish showab-


Disarikan dari Buku “60 Sirah Sahabat rasulullah SAW”, karya Khalid Muhammad Khalid…
http://mtua.rekayasa.co.id/index.php/sirah/sahabat/213-bilal-bin-rabah.html

Disadur dari http://muchlisin.blogspot.com