Jumat, 30 September 2011

Mengenal Shalat Jama’ Dan Qashar

Abu Salma Al-Atsari

Shalat jama’ maksudnya melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’.
Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS.Annisa; 101),
Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah Ta’ala yang disuruh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).

Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).

Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir rahimahullah mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat, (HR.Bukhari Muslim).

Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).

Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah ( langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.

Wallahu a’lam bis Shawaab

Sumber: abusalma.net dan dipublikasikan kembali oleh: ibnuabbaskendari.wordpress.com
Referensi:
Fatawa As-Sholat, Syeikh Abdul Aziz bin Baz
Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, DR. Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi

Jumat, 23 September 2011

Sifat Shalat Wanita Ketika Safar

Ustadz  Abu Zuhair al-Anwar

 Ketika seorang wanita melakukan perjalanan jauh (safar), berlaku baginya berbagai macam hukum safar yang telah dijelaskan secara rinci oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer.
Di antara hukum safar yang banyak mendapatkan perhatian secara khusus dari para ulama adalah hukum sholat ketika safar. Tidak satupun kitab fiqih yang mu’tabar (dianggap/diakui keilmiahannya) kecuali di dalamnya terdapat pembahasan ini.
Kali ini, insya Allah kita akan mempelajari secara singkat hukum-hukum seputar sholat wanita ketika safar. Semoga pembahasan ini dapat menjadi lampu penerang bagi kaum wanita ketika safar dan kaum muslimin secara umum.

1.      Disunnahkan meng-qoshor (meringkas) sholat
Seorang wanita yang melakukan safar-baik safar mubah (seperti safar untuk rekreasi di tempat yang aman dari fitnah atau godaan), safar taat (seperti safar untuk menunaikan ibadah haji), safar maksiat (safar untuk melakukan sesuatu yang haram), atau safar makruh (safar untuk melakukan hal yang makruh)- disunnahkan untuk mengqoshor sholat yang semula empat roka’at menjadi dua roka’at. Adapun sholat yang tiga roka’at atau dua roka’at maka tidak boleh diqoshor.
Dalil-dalil disunnahkannya qoshor :

a.      Dari al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman :
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqoshor sholat(mu) jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu    (QS. an-Nisa’ [4] : 101).

b.      Dari perkataan Nabi SAW
Rasululloh SAW bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya ia (sholat dengan cara diqoshor) merupakan shodaqoh dari Alloh, maka terimalah shodaqohnya.” (HR. Muslim 686).

c.       Dari perbuatan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Berkata Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu: “Saya menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at (diqoshor-red). (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan itu) sampai beliau meninggal dunia. Saya menemani Abu Bakar dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at sampai beliau meninggal dunia. Saya menemani umar dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at sampai beliau meninggal dunia. Saya menemani Utsman dalam safarnya, dan tidaklah beliau melakukan sholat (yang empat roka’at) kecuali dua roka’at sampai beliau meninggal dunia”. (HR. Bukhari 1102).

d.      Dari perkataan sahabat
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum (tatkala beliau ditanya tentang sebab seorang laki-laki yang sedang safar melakukan sholat dua roka’at ketika sholat sendirian dan ketika sholat dengan imam yang mukim ia sholat empat roka’at): “Itulah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar riwayat Ahmad : 1/216)

2.      Menyempurnakan roka’at sholat bila sholat di belakang imam mukim
Apabila seorang wanita yang safar di belakang imam mukim maka ia wajib menyempurnakan sholatnya sebanyak empat roka’at dalam rangka mengikuti imamnya. Karena itulah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ketika dalam safar dan sholat di belakang imam mukim beliau sholat empat roka’at, dan ketika sholat sendirian beliau sholat dua roka’at (lihat Atsar shohih riwayat Muslim 694).
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum (tatkala beliau ditanya tentang sebab seorang laki-laki yang sedang safar melakukan sholat dua roka’at ketika sholat sendirian dan ketika sholat dengan imam yang mukim ia sholat empat roka’at) : “Itulah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Atsar riwayat Ahmad : 1/216).

3.      Boleh menjama’ antara dua sholat
Seorang wanita yang melakukan safar boleh menjama’ (mengumpulkan pelaksanaan dua sholat dalam satu waktu sholat), baik di waktu sholat yang awal maupun di waktu sholat yang akhir, kecuali sholat Shubuh yang mana ia wajib dilakukan pada waktunya.
Hal ini berdasarkan perbuatan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau pernah menjama’ antara Dzuhur dan Ashar ketika di Arofah (lihat hadits riwayat Muslim 1218), ketika berada di Tabuk (lihat hadits riwayat Abu Dawud 1206), dan ketika berada di Abthoh (nama tempat yang dekat kota Makkah). (lihat hadits riwayat Bukhori 501).

4.      Boleh sholat fardhu maupun sholat sunnah di kendaraan
Sholat fardhu pada asalnya tidak boleh dilakukan di atas kendaraan. Ibnu Umar mengatakan, ”Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sholat di atas kendaraan ketika sedang safar. (beliau menghadap) ke arah manapun kendaraan menghadap, dan melakukan isyarat dengan kepala ke arah manapun kendaraannya menghadap, dan beliau tidak melakukan hal itu dalam sholat wajib.” (Atsar riwayat Bukhari 1098)
Namun, apabila seorang wanita tidak dapat melakukan sholat fardhu kecuali di kendaraan karena adanya udzur syar’i, seperti sakit, atau jika turun dari kendaraan yang akan ditinggal rombongannya, atau udzur-udzur yang lainnya, boleh baginya untuk sholat di atas kendaraan. Jika ia mampu sholat dengan berdiri maka wajib baginya sholat dengan berdiri, dan jika tidak mampu maka sholat sesuai dengan keadaan.
Allah Ta’ala berfirman :

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kadar kemampuannya. (QS. Al-Baqoroh [2] : 286).

Jika kendaraan berupa kapal laut maka ia sholat sebagaimana di daratan, sebab kebanyakan kapal laut sekarang sangat luas dan ada tempat sholatnya secara khusus. Adapun jika berupa kapal terbang, maka jika ia mampu dan tak ada madhorot (membahayakan diri) maka ia sholat dengan berdiri. Namun jika tidak mampu atau termadhoroti dengannya maka ia sholat sesuai kemampuan dan keadaannya.
Adapun sholat sunnah di kendaraan tidaklah diwajibkan dengan berdiri, namun boleh dengan duduk. Dan boleh pula dengan duduk dan berdiri.
Apabila ia sholat sunnah dengan duduk bukan karena udzur, maka ia mendapatkan separuh pahala sholat sunnah dengan berdiri, dan bila karena udzur maka ia mendapatkan pahala sholat dengan sempurna sebagaimana sholat sunnah orang yang berdiri.
Dari Imron bin Husain radhiyallahu ‘anhum beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sholatnya seorang laki-laki dengan duduk, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ”Jika ia sholat dengan berdiri maka lebih utama. Dan barangsiapa sholat dengan duduk, maka baginya pahala orang yang sholat dengan berdiri, dan barangsiapa sholat dengan berbaring, maka baginya separuh pahala orang yang sholat dengan duduk.” (HR. Jama’ah kecuali Imam Muslim).

5.      Tidak disunnahkan sholat sunnah rowatib
Ketika safar tidak disunnahkan melakukan sholat sunnah rowatib (sholat sunnah yang mengiringi sholat fardhu) kecuali sholat rowatib sebelum sholat Shubuh. Hal ini karena Rosululloh ketika safar tidak pernah melakukan sholat sunnah rowatib kecuali sholat rowatib sebelum sholat Shubuh.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum mengatakan : ”Saya menemani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanannya, dan saya tidak melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sholat sunnah di perjalanannya tersebut.” Lalu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum membacakan firman Allah Ta’ala :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rohmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33] : 21) (Atsar shohih riwayat Ibnu Khuzaimah 952).

Dan juga berdasarkan keumuman hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menjaga pelaksanaan sholat sunnah sebagaimana penjagaan beliau terhadap dua roka’at sebelum Shubuh.” (HR. Bukhari 1163).
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum ketika melihat para sahabatnya melakukan sholat sunnah ketika safar, beliau berkata : ”Kalau seandainya saya sholat sunnah, sungguh saya akan menyempurnakan sholatku.” (Atsar riwayat Muslim 689).
Adapun sholat sunnah mutlak (tidak dibatasi oleh waktu, hitungan dan tempat tertentu dan juga bukan sholat rowatib) tidaklah mengapa dikerjakan. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum (Atsar riwayat Bukhari 1101).
Berkata Imam Ahmad           : “Apabila seseorang melakukan sholat sunnah mutlak (ketika safar) saya berharap semoga tidak mengapa (tidak melanggar sunnah).” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam 2/383).

6.      Tetap Disunnahkan Sholat Witir
Seorang wanita ketika dalam safar tetap disunnahkan untuk melaksanakan sholat Witir. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya Asma’ ketika berada di Muzdalifah (lihat hadits Bukhari 1679 dan Muslim 1291).
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah : “Sesungguhnya termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat safar adalah beliau hanya mencukupkan diri melakukan sholat wajib saja. Tidaklah dinukil dari beliau bahwasanya beliau melakukan sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat fardhu kecuali sholat Witir dan dua roka’at sebelum fajar. Beliau tidak meninggalkan keduanya baik ketika mukim maupun safar.” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam 2/383).

7.      Ketika sholat yang terlupakan tiba-tiba teringat
Bilamana seorang wanita berada dalam safar, lalu tiba-tiba ia teringat sholat yang ia tinggalkan karena lupa atau tertidur ketika masih mukim, maka ketika ia mengingatnya saat itu juga ia mengqodho’ (melakukan sholat di luar waktu) sholatnya tersebut dan menyempurnakan bilangan roka’at sebagaimana layaknya orang yang mukim. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Barangsiapa tertidur atau lupa dari suatu sholat, maka hendaknya ia mengerjakan (sholat)nya ketika ia mengingatnya”. (HR. Bukhari 597).
Sebaliknya, jika ia dalam keadaan mukim kemudian ia teringat dengan sholat yang ia tinggalkan karena lupa atau tertidur ketika safar, maka ketika ia mengingatnya saat itu juga ia mengqodho’ sholatnya tersebut dan mengqhoshornya sebagaimana layaknya orang yang safar.

8.      Bagaimana apabila seseorang telah memulai sholatnya dengan qoshor, lalu di tengah-tengah sholat ia telah sampai di tempat tinggalnya ?
Bilamana seorang wanita yang berada dalam safar menuju tempat tinggalnya sedang mengqoshor sholatnya, kemudian di tengah-tengah sholat ia telah sampai tujuan, maka dalam keadaan seperti itu ia menyempurnakan sholatnya sebagaimana sholat orang yang mukim, yakni empat roka’at, sebab saat itu ia tengah menghadapi dua hal yang berlawanan, yakni safar dan mukim : safar membolehkannya mengqoshor sholat dan mukim mencegahnya dari mengqoshor sholat. Dalam kaidah ushul fiqih dikatakan : ”Sesuatu yang mencegah lebih didahulukan daripada sesuatu yang membolehkan”. Kaidah ini berdasarkan dua sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shohih berikut ini :
”Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu, dan lakukan sesuatu yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi 2517)
”Barangsiapa menjaga diri dari perkara yang samar baginya maka sungguh ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR. Muslim 1599).


Sumber: Majalah Almawaddah volume: 22 edisi ke: 12 thn. Ke 2 :: Rojab 1430H :: Juli 2009M

Sabtu, 17 September 2011

Keajaiban Seorang Muslim (jilid 3-habis)

• Bagaimana cara kita bersyukur?
Syukur terdiri dari tiga tingkatan :

 1. Bersyukur dengan hati, yakni dengan meyakini bahwa seluruh nikmat bersumber dari Allah ta’ala. Dalam sebuah ayat Allah subhânah mengingatkan,

“وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ”.

Artinya: “Segala nikmat yang ada pada diri kalian (datangnya) dari Allah”. (QS. An-Nahl: 53).

Kelihatannya mempraktekkan syukur jenis ini mudah. Namun realita berkata bahwa tidak sedikit di antara masyarakat yang praktek kesehariannya membuktikan bahwa mereka masih belum meyakini betul bahwa nikmat yang mereka rasakan bersumber 100 % dari Allah ta’ala.
Contoh nyatanya: di berbagai daerah, setelah panen padi, di pojok-pojok sawah diletakkan berbagai uba rampe. Beras merah, ayam, kelapa muda dan lain-lain. Untuk siapa itu semua?? Persembahan untuk Allah kah? Atau sesaji untuk ‘pemberi pangan’; Dewi Sri?
Yang lebih miris dari itu, keyakinan akan keberadaan Dewi Sri diajarkan pula kepada anak-anak kita di sekolahan.
Di sebuah buku pelajaran sekolah tertulis “Dongeng Datangnya Dewi Sri”. Di dalamnya ada kalimat: “Semua merasa bahwa padi adalah pemberian Dewi Sri untuk bahan pangan untuk seluruh manusia. Di Pulau Jawa orang menyebutnya Dewi Sri. Di Sumatra ada yang menamakannya Putri Dewi Sri, Putri Mayang Padi Mengurai, atau Putri Sirumpun Emas Lestari.”
Innalillah wa inna ilaihi raji’un… Dongeng khayal yang merusak aqidah ternyata diajarkan kepada anak-anak kita!

2. Bersyukur dengan lisan, yakni dengan memperbanyak mengucapkan hamdalah, sebagaimana perintah Allah ta’ala,

“وَقُلِ الْحَمْدُ لِلّهِ”.

Artinya: “Katakanlah: alhamdulillah (segala puji bagi Allah)”. (QS. Al-Isra: 111 dan an-Naml: 93).

Termasuk bentuk syukur dengan lisan; menceritakan kenikmatan yang kita rasakan kepada orang lain. Allah ta’ala memerintahkan,

“وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ”.

Artinya: “Adapun mengenai nikmat Rabbmu, maka ceritakanlah”. (QS. Adh-Dhuha: 11).

3. Syukur dengan anggota tubuh, yakni mempergunakan nikmat Allah untuk ketaatan pada-Nya bukan untuk berbuat maksiat. Syukur jenis ketiga ini amat berat, sehingga hanya sedikit yang mengamalkannya. Allah ta’ala befirman,

“اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ”.

Artinya: “Wahai keluarga Dawud beramallah sebagai bentuk syukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali di antara para hamba-Ku yang bersyukur”. (QS. Saba’: 13).

Mata kita dipergunakan untuk membaca al-Qur’an bukan untuk melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Telinga kita dipergunakan untuk mendengarkan pengajian bukan untuk mendengarkan musik dan nyanyian. Kaki kita pergunakan untuk mencari nafkah bukan untuk mendatangi tempat-tempat maksiat. Harta kita dipergunakan untuk shadaqah bukan untuk membeli barang-barang yang dibenci oleh Allah.
Dengan ini nikmat-nikmat Allah akan terus bertambah, jika tidak maka nikmat tersebut akan dicabut di dunia atau kita akan disiksa Allah di akherat.
Dalam al-Qur’an:

“وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ”.

Artinya: “(Ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”. (QS. Ibrahim: 7).

Kiat agar kita menjadi hamba yang pandai bersyukur

1. Meminta tolong kepada Allah ta’ala agar dibantu bersyukur. Di antara wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam kepada Mu’adz,

“أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ”.

“Wahai Mu’adz, aku wasiatkan padamu agar setiap akhir shalat tidak meninggalkan untuk membaca doa “Ya Allah, bantulah aku agar senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Mu”. (HR. Abu Dawud dan yang lainnya. Hadits ini dinilai sahih oleh al-Hakim, Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban dan al-Albani).

2. Senantiasa berusaha membandingkan kenikmatan duniawi yang kita rasakan dengan kenikmatan orang yang di bawah kita.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menasehatkan,

“انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّه”.

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas kalian; sebab hal itu akan mendidik kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

Orang yang hanya memiliki rumah gedek melihat orang yang tidak punya rumah.
Orang yang cuma berlauk tempe melihat orang yang hanya berlauk garam.
Orang yang memiliki sepeda onthel melihat orang yang tidak memiliki kendaraan.
Begitu seterusnya. Bukan malah sebaliknya!
 SABAR

• Definisi sabar
Secara bahasa, sabar berarti: menahan dan mencegah. Adapun artinya secara istilah: mencegah dan menahan diri dari berkeluh kesah, menahan lisan dari mengeluh dan anggota badan dari mengamuk, seperti menampar pipi, merobek baju dan semisalnya.

• Perintah untuk sabar
Begitu banyak ayat maupun hadits yang memotivasi kita untuk bersabar. Ada yang berupa perintah secara tegas untuk bersabar, sebagaimana dalam firman Allah,

“وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ”.

Artinya: “Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar”. (QS. Al-Anfal: 46).

Adapula yang berupa keterangan tentang keistimewaan karakter sabar, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

“وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ”.

“Barang siapa menahan dirinya untuk bersabar niscaya Allah akan sabarkan dia. Tidak ada karunia yang lebih baik dan lebih luas dibanding kesabaran”. (HR. Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudry).

Bentuk-Bentuk Kesabaran
Manakala berbicara tentang sabar, kerap kebanyakan orang memahaminya secara parsial, yakni sabar dalam musibah saja. Padahal sabar itu bermacam-macam.
Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga :

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah.
Merealisasikan ketaatan kepada Allah amat membutuhkan kesabaran. Karena secara tabiat, jiwa manusia cenderung lari dan menghindar dari sesuatu yang membelenggu atau mengikat dirinya. Sedangkan peribadatan kepada Allah itu mengekang syahwat jiwa.
Oleh karena itu, jiwa tidak bisa istiqamah dalam menjalankan perintah Allah dengan mudah. Sehingga jiwa harus senantiasa dilatih dan hawa nafsu harus dikekang. Kesemuanya itu sangat membutuhkan kesabaran.
Allah ta’ala berfirman,

“رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ”.

Artinya: “Rabb (yang menguasai) langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan bersabarlam dalam beribadah kepada-Nya”. (QS. Maryam: 65).

2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan.
Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca: ngerumpi), dusta dan memandang sesuatu yang haram.
Mengumbar syahwat memang  kelihatannya enak dan menyenangkan. Bahkan Allah ta’ala sendiri menggambarkan bahwa itu nampak indah di mata manusia. Kata Allah jalla wa ‘ala,

“زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ”.

Artinya: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali Imran: 14).

Namun justru di situlah letak ujian dan cobaannya. Sebab tidak setiap cobaan itu berupa keburukan, namun juga terkadang berupa kesenangan. Sebagaimana yang Allah isyaratkan dalam firman-Nya,

“وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ”.

Artinya: “Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan”. (QS. Al-Anbiyâ’: 35).

Terkadang orang bisa bersabar manakala diuji dengan keburukan, semisal kemiskinan, sakit dan musibah. Namun belum tentu ia akan lulus manakala diuji dengan kebaikan semisal kekayaan, kesehatan dan keselamatan lahir.
Oleh karena itu, seorang hamba membutuhkan kesabaran untuk menghadapi tipu daya dunia dan nafsu syahwat. Sehingga syahwatnya tidak lepas kendali manakala berhadapan dengan wanita, anak, uang dan sawah ladang.

3. Sabar dalam menghadapi musibah dan takdir Allah yang menyakitkan
Tidak seorangpun insan hidup di dunia yang lepas dari rasa sedih, penyakit, kehilangan orang tercinta dan kekurangan harta. Baik ia orang baik maupun jahat, mukmin maupun kafir.
Hanya saja perbedaannya seorang mukmin menghadapi musiban ini dengan penuh keridhaan dan ketenangan dalam hatinya. Karena ia mengetahui dengan yakin bahwa apa yang telah digariskan Allah pasti tidak akan pernah bisa dihindari. Sebaliknya apa yang tidak ditakdirkan Allah untuknya juga tidak akan pernah menimpa dirinya.
Allah ta’ala berfirman,

“وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ”.

Artinya: “Sungguh Kami akan memberikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah: 155).

Orang yang beriman manakala ditimpa musibah ia akan tetap bersabar, sebab ia yakin betul bahwa apapun pilihan Allah itulah yang terbaik untuknya dan pasti ada hikmah di balik itu.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bertutur,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْضِي لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ”.

“Sesungguhnya Allah tidak menakdirkan sesuatu untuk seorang mukmin melainkan itu baik untuknya”. (HR. Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan al-Albany).


Kiat meraih kesabaran
 
A. Kiat meraih kesabaran dalam ibadah

 Menumbuhkan rasa cinta kepada Allah. Antara lain dengan meresapi betapa banyak karunia nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita.
  • Mujahadatun nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat untuk mengalahkan nafsu yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas dan kikir.
  • Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna.
  • Perlu mengadakan latihan-latihan sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah daripada menyaksikan televisi, misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah.
  • Membaca-baca kisah-kisah kesabaran dan semangat beribadah para sahabat, tabi’in maupun ulama salaf lainnya.
B. Kiat meraih kesabaran dalam menghindari maksiat
  1. Malu kepada Allah yang selalu melihat segala perbuatan dan mendengar semua perkataannya.
  2. Mengingat curahan nikmat yang telah diberikan Allah pada kita dan kebaikan-Nya atas diri kita.
  3. Takut kepada Allah dan azab-Nya.
  4. Menyadari betul akan akibat, dampak buruk dan bahaya dari perbuatan maksiat.
C. Kiat meraih kesabaran dalam menghadapi musibah
  1. Mengetahui pahala sabar dalam menghadapi musibah.
  2. Beriman bahwasanya musibah tersebut merupakan bagian dari takdir yang telah tertulis dalam Lauh al-Mahfuzh sebelum diciptakannya manusia. Sehingga berkeluh kesah hanya akan menambah bencana.
  3. Meyakini bahwa di balik musibah tersebut ada hikmah  dan kebaikan untuk kita.
  4. Menyadari bahwa datangnya musibah itu disebabkan dosa-dosa kita. Sebagaimana dalam QS. Asy-Syurâ: 30.
Wallahu ta’ala a’lam.
Oleh: Abdullah Zaen, Lc, MA


DAFTAR PUSTAKA:

  • Al-Qur’an dan Terjemahannya.
  • An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar karya Ibn al-Atsir.
  • Indahnya Kesabaran karya Sa’id bin Ali al-Qahthany.
  • Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam karya Ibn Rajab al-Hambaly.
  • Kitab ats-Tsiqât karya Imam Ibn Hibban.
  • Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr.
  • Maqâyis al-Lughah karya Ibn Faris.
  • Mufradât Alfâzh al-Qur’ân karya ar-Raghib al-Ashfahany.
  • Musnad Imam Ahmad.
  • Mustadrak al-Hakim.
  • Sabar; Keajaiban Seorang Mukmin.
  • Shahih al-Bukhary.
  • Shahih Ibn Hibban.
  • Shahih Ibn Khuzaimah.
  • Shahih Muslim.
  • Sunan Abi Dawud.
  • Tafsîr ath-Thabary.
  • ‘Uddah ash-Shâbirîn karya Ibn al-Qayyim.



Lihat Kitab ats-Tsiqât karya Imam Ibn Hibban (V/2-5).


Periksa: Tafsîr ath-Thabary (XXIII/118).


Sabar; Keajaiban Seorang Mukmin sebagaimana dalam: http://top-motivation.blogspot.com/2009/09/ sabar-keajaiban-seorang-mukmin.html.


Baca: Maqâyis al-Lughah karya Ibn Faris (III/207), Mufradât Alfâzh al-Qur’ân karya ar-Raghib al-Ashfahany (hal. 461) dan Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr (VII/170).


Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam kitabnya Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam (hal. 458).


Cermati: Mufradât Alfâzh al-Qur’an (hal. 461).


  Buku Bahasa Indonesia untuk SD / MI (Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah) Kelas 4, karangan Widyati S, terbitan PT Bintang Ilmu cetakan 2, Juni 2006, halaman 35, Sebagaimana dalam http://nahimunkar.com/mengagungkan-budaya-adat- melestarikan-syirik-dan-maksiat /#more-219.


Periksa: An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar karya Ibn al-Atsir (III/7) dan Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (hal. 484).


Lihat: ‘Uddah ash-Shâbirîn karya Ibn al-Qayyim (hal. 33).


Baca: Tafsîr ath-Thabary (II/705-706) dan Indahnya Kesabaran karya Sa’id bin Ali al-Qahthany (hal. 48 dst).


Disarikan dari Indahnya Kesabaran (hal. 190) dan Sabar; Keajaiban Seorang Mukmin.

sumber : http://ibnuabbaskendari.wordpress.com

Minggu, 11 September 2011

Keajaiban Seorang Muslim (jilid 2)

Pesona kepribadian yang telah dijelaskan di postingan sebelumnya, yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam  ungkapkan dengan keajaiban seorang mukmin.
• Keajaiban seorang mukmin
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ”.

“Alangkah menakjubkannya kehidupan seorang mukmin. Sungguh seluruh kehidupannya baik. Hal itu tidak dimiliki melainkan oleh mukmin. Jika dikaruniai kebaikan; maka ia bersyukur, dan itu baik untuknya. Dan jika ditimpa keburukan; maka ia bersabar, dan itu baik untuknya”. (HR. Muslim dari Shuhaib radhiyallahu’anhu.)
 
Kehidupan seorang hamba di dunia bagaikan roda, kadang ia di bawah dan kadang di atas. Dalam seluruh kondisi tersebut seorang mukmin selalu dalam kebaikan. Sebab manakala posisinya di atas, ia akan menyikapinya dengan bersyukur. Dan ketika posisinya di bawah, ia akan menghadapinya dengan kesabaran. Kedua sikap tersebut; syukur dan sabar, akan menghantarkannya kepada kebaikan dan keridhaan Allah ta’ala.
 
Berikut penjelasan tentang dua karakter istimewa itu;

SYUKUR

• Definisi syukur
Syukur berarti: mengakui kebaikan dan memuji sang pemberinya, serta menyebarkan dan memperlihatkannya.

 Perintah untuk syukur
Banyak ayat atau hadits yang memerintahkan kita untuk mensyukuri nikmat Allah ta’ala, ada yang berupa perintah secara jelas, sebagaimana dalam firman Allah azza wa jalla,

“وَاشْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ”

Artinya: “Syukurilah nikmat Allah jika kalian benar-benar hanya beribadah pada-Nya” (QS. An-Nahl: 114).
Adapula yang berbentuk janji balasan istimewa bagi hamba yang bersyukur, diiringi ancaman bagi yang tidak bersyukur, sebagaimana dalam firman Allah ta’ala,

“وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ”.

Artinya: “Ingatlah tatkala Rabb kalian menetapkan: jika kalian bersyukur niscaya akan Ku tambah (nikmatku) pada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim:7). 

Mengapa kita bersyukur?
Jawabannya pertama tentu karena Allah ta’ala memerintahkan pada kita untuk bersyukur.
Selanjutnya, dikarenakan limpahan nikmat Allah pada kita yang begitu banyaknya. Sebagaimana diingatkan oleh-Nya:

“وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اللّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ”.

Artinya: “Jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nahl: 18). 

Suatu hari ada seorang yang datang kepada Yunus bin ‘Ubaid dan mengeluhkan kemiskinannya. Maka Yunus pun berkata, “Maukah kedua matamu ini dibeli seratus ribu dirham?”. Serta merta laki-laki tadi menjawab, “Tidak!”.
“Bagaimana jika kedua tanganmu yang dibeli seratus ribu dirham?” lanjut Yunus.
“Tidak mau” jawab si laki-laki.
“Bagaimana dengan kedua kakimu?”.
“Tidak mau!”.
Lalu Yunus terus mengingatkan nikmat-nikmat Allah padanya, hingga akhirnya beliau memungkasi dialognya dengan berkata, “Saya melihat sebenarnya kamu memiliki ratusan ribu dirham! Lantas kenapa engkau mengeluh miskin?!”.
Ya, begitulah manusia, nikmat-nikmat terlihat begitu jelas di depan matanya, namun tidak terasa pula. Bagaimana jika kita mau merenungi limpahan nikmat Allah yang tak terlihat, semisal ginjal, paru-paru, jantung, usus dan yang semisal??

Hakekat syukur
Pakar terapi penyakit hati; Imam Ibnul Qayyim, dalam kitabnya: Tharîq al-Hijratain menjelaskan bahwa hakekat syukur adalah: mengakui nikmat Sang Pemberi kenikmatan dengan penuh ketundukan dan kecintaan pada-Nya.

Barang siapa tidak menyadari adanya nikmat maka dia tidak dianggap bersyukur.
Barang siapa menyadari adanya nikmat namun tidak mengenal siapa pemberinya maka dia tidak dianggap bersyukur.
Barang siapa menyadari adanya nikmat dan mengetahui Sang Pemberi nikmat namun dia mengingkarinya maka dia juga dianggap tidak bersyukur.
Barang siapa menyadari adanya nikmat dan mengetahui Sang Pemberi nikmat serta mengakui kenikmatan tersebut dan tidak mengingkarinya, namun ia tidak tunduk pada-Nya dan tidak pula mencintai-Nya, maka dia pun dianggap tidak bersyukur.
Barang siapa menyadari adanya nikmat dan mengetahui Sang Pemberi nikmat, lalu mengakui kenikmatan tersebut dan tunduk serta cinta pada-Nya kemudian mempergunakan kenikmatan tersebut dalam hal-hal yang dicintai Allah ta’ala, inilah orang yang dianggap bersyukur.

 (Bersambung Insya Allah)

Selasa, 06 September 2011

Keajaiban Seorang Muslim (jilid 1)

Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul-Nya, keluarga, sahabat dan pengikut setianya.

• Prolog
Di tahun 104 H, di pinggiran negeri Iraq, seorang prajurit kerajaan ditugasi raja untuk menjaga daerah perbatasan. Ia bercerita, “Suatu hari aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka menjaga kawasan pantai dari kedatangan musuh. Tatkala tiba di tepi pantai aku mendapatkan diriku berada di sebuah dataran lapang yang di tengahnya terdapat sebuah tenda, di dalamnya terdapat seorang lanjut usia yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, pendengarannya lemah, serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnya pun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya. Orang itu berkata, “Ya Allah, ilhamilah aku agar bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukur atas nikmat-nikmat yang telah Engkau anugerahkan padaku. Sungguh Engkau telah melimpahkan banyak keistimewaan padaku dibanding kebanyakan makhluk ciptaan-Mu”. 
Prajurit tadi bergumam, “Aku harus mendatangi orang ini, dan bertanya kepadanya: bagaimana mungkin ia bisa mengucapkan perkataan itu, apakah ia paham dengan apa yang diucapkannya? Ataukah ucapannya sekedar ilham yang diberikan kepadanya?”.
Maka akupun mendatanginya, setelah mengucapkan salam aku bertanya, “Aku mendengarmu berkata “Ya Allah, ilhamilah aku agar bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukur atas nikmat-nikmat yang telah Engkau anugerahkan padaku. Sungguh Engkau telah melimpahkan banyak keistimewaan padaku dibanding kebanyakan makhluk ciptaan-Mu”, sebenarnya nikmat apakah yang telah Allah anugerahkan padamu sehingga engkau memuji-Nya atas nikmat tersebut? Lalu keistimewaan apakah yang telah Allah limpahkan padamu hingga engkau mensyukurinya?”.
Orang itu menjawab, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah Allah limpahkan padaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar untuk membakar tubuhku, atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga tubuhku hancur, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkanku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku; maka semua itu tidak akan membuatku melainkan semakin bersyukur kepadaNya; karena Ia telah memberikan kenikmatan tiada terkira padaku yaitu lisanku ini! Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya maka tolonglah engkau mencari kabar tentangnya –semoga Allah merahmati engkau-”. Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”. Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gundukan pasir, tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??”.
Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub. Tatkala aku menemui orang tersebut maka akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”. Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ÷?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ÷”, aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya”, ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!”. Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”.
Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun”, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.
Tatkala tiba malam hari akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga. Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”, ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam keadaan di depan khalayak ramai”.
Siapakah gerangan orang tersebut? Dialah: sosok ulama kota Bashrah yang bernama Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi (w. 104 H).

• Ajaib dan menakjubkan!
Ya, sepenggal kisah kehidupan seorang mukmin yang begitu menakjubkan! Ajaib, seorang renta yang cacat fisik, sudah tiga hari tiga malam tidak makan dan minum, tetap bersabar dan bahkan lisannya masih melantunkan permohonan pada Allah agar dibantu bisa bersyukur pada-Nya!
Luar biasa! Bandingkan dengan kondisi kebanyakan orang, bahkan mungkin termasuk di dalamnya kita, yang masih sempurna fisiknya dan kenikmatan melimpah ruah. Namun demikian, cenderung lebih banyak menggerutu manakala nikmat sedikit berkurang, dan lupa untuk bersyukur ketika nikmat datang silih berganti.
Begitukah perilaku seorang mukmin?

• Seorang mukmin memiliki pribadi yang menakjubkan
Sudah merupakan sunnatullah, bahwa kehidupan dunia tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya serta mati dan hidup. Suatu kondisi yang tidak mungkin dihindari oleh setiap insan.
Tentunya manakala Allah menakdirkan adanya beragam kondisi tersebut, bukan tanpa ada hikmah di balik itu semua. Salah satunya adalah apa yang Allah terangkan dalam firman-Nya,

“الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Artinya: “(Allah) Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun”. QS. Al-Mulk: 2).

Ayat di atas menjelaskan bahwa adanya siklus hidup dan mati adalah untuk menguji siapakah di antara para manusia yang paling taat kepada Allah, dan siapa pula yang paling bersegera dalam mencari keridhaan-Nya.
Kondisi apapun yang dihadapi seorang yang beriman kepada Allah, targetnya adalah menggapai apa yang diridhai Rabbnya. Sekalipun terkadang kenyataan yang ia alami secara lahiriah tidak mengenakkan. Manakala tertimpa musibah misalnya.
Jika dalam keadaan yang menyakitkan saja, seorang mukmin bisa tetap memilih langkah yang mendatangkan keridhaan Allah, apalagi jika ia menghadapi kondisi yang menyenangkan.
Setiap mukmin memiliki pesona. Pesona itu berpangkal dari adanya positif thinking dalam diri seorang mukmin. Ketika mendapatkan kebaikan, ia refleksikan dalam bentuk syukur terhadap Allah ta’ala. Karena ia paham, hal tersebut merupakan anugerah Allah. Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah, ia akan bersabar. Karena ia yakin, hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya, yang tentu ada rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah ta’ala.
Pesona kepribadian tersebut di ataslah, yang Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam ungkapkan dengan keajaiban seorang mukmin.
• Keajaiban seorang mukmin
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ”.

“Alangkah menakjubkannya kehidupan seorang mukmin. Sungguh seluruh kehidupannya baik. Hal itu tidak dimiliki melainkan oleh mukmin. Jika dikaruniai kebaikan; maka ia bersyukur, dan itu baik untuknya. Dan jika ditimpa keburukan; maka ia bersabar, dan itu baik untuknya”. HR. Muslim dari Shuhaib radhiyallahu’anhu.

Kehidupan seorang hamba di dunia bagaikan roda, kadang ia di bawah dan kadang di atas. Dalam seluruh kondisi tersebut seorang mukmin selalu dalam kebaikan. Sebab manakala posisinya di atas, ia akan menyikapinya dengan bersyukur. Dan ketika posisinya di bawah, ia akan menghadapinya dengan kesabaran. Kedua sikap tersebut; syukur dan sabar, akan menghantarkannya kepada kebaikan dan keridhaan Allah ta’ala. (Bersambung Insya Allah)


sumber: http://ibnuabbaskendari.wordpress.com

Senin, 05 September 2011

Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.”[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, yang ini termasuk karunia agung dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan kemudahan mendapatkan pahala puasa setahun penuh tanpa adanya kesulitan yang berarti[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:
Pahala perbuatan baik akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, karena puasa Ramadhan ditambah puasa enam hari di bulan Syawwal menjadi tiga puluh enam hari, pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali menjadi tiga ratus enam puluh hari, yaitu sama dengan satu tahun penuh (tahun Hijriyah)[3].
Keutamaan ini adalah bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan sebulan penuh dan telah mengqadha/membayar (utang puasa Ramadhan) jika ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Barangsiapa yang (telah) berpuasa (di bulan) Ramadhan…”, maka bagi yang mempunyai utang puasa Ramadhan diharuskan menunaikan/membayar utang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa Syawwal[4].

Meskipun demikian, barangsiapa yang berpuasa Syawwal sebelum membayar utang puasa Ramadhan, maka puasanya sah, tinggal kewajibannya membayar utang puasa Ramadhan[5]. Lebih utama jika puasa enam hari ini dilakukan berturut-turut, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, meskipun dibolehkan tidak berturut-turut.[6]. Lebih utama jika puasa ini dilakukan segera setelah hari raya Idhul Fithri, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, menunjukkan kecintaan kepada ibadah puasa serta tidak bosan mengerjakannya, dan supaya nantinya tidak timbul halangan untuk mengerjakannya jika ditunda[7].

Melakukan puasa Syawwal menunjukkan kecintaan seorang muslim kepada ibadah puasa dan bahwa ibadah ini tidak memberatkan dan membosankan, dan ini merupakan pertanda kesempurnaan imannya[8].
Ibadah-ibadah sunnah merupakan penyempurna kekurangan ibadah-ibadah yang wajib, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih[9].
Tanda diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah, adalah dengan giat melakukan amal ibadah lain setelahnya[10].

Penulis: Abdullah bin Taslim
Sumber: www.muslim.or.id
  
Footnote:
[1] HSR Muslim (no. 1164).
[2] Lihat kitab Ahaadiitsush Shiyaam, Ahkaamun wa Aadaab (hal. 157).
[3] Lihat kitab Bahjatun Naazhirin (2/385).
[4] Pendapat ini dikuatkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti’ (3/100), juga syaikh Sulaiman ar-Ruhaili dan para ulama lainnya.
[5] Lihat keterangan syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitab “Ahaadiitsush shiyaam” (hal. 159).
[6] Lihat kitab asy Syarhul Mumti’ (3/100) dan Ahaadiitsush Shiyaam (hal. 158).
[7] Lihat kitab Ahaadiitsush Shiyaam, Ahkaamun wa Aadaab (hal. 158).
[8] Ibid (hal. 157).
[9] Ibid (hal. 158).
[10] Ibid (hal. 157).